Panji Rasulullah
Al-Liwa dan Ar-Rayah
oleh Luthfi Afandi, SH. MH
oleh Luthfi Afandi, SH. MH
Al-Liwa’ dan ar-Rayah
adalah nama untuk bendera dan panji Rasulullah saw. Walaupun sama-sama disebut
sebagai bendera (al-’alam), keduanya memiliki karakteristik dan fungsi
yang berbeda. Al-Liwa berwarna putih dengan tulisan khath berwarna hitam
”La ilaha illalLah Muhammad RasululLah.” Al-Liwa’ disebut juga ar-rayah
al-’azhim (panji agung); berfungsi sebagai bendera negara atau simbol
kedudukan pemimpin. Panji ini tidak dipegang kecuali oleh pemimpin tertinggi
peperangan atau komandan brigade pasukan (amir jaisy), yakni Khalifah
atau orang yang menerima mandat dari Khalifah sebagai simbol kedudukan komandan
pasukan. Al-Liwa’ menjadi pertanda posisi amir atau komandan pasukan dan
turut beredar sesuai peredaran amir atau komandan pasukan itu.Adapun ar-Rayah
adalah panji berwarna hitam, dengan tulisan khath berwarna putih, “La
ilaha illalLah Muhammad RasululLah.” Ukuran bendera ini lebih kecil
daripada al-Liwâ’; digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen
pasukan (satuan-satuan pasukan [katâ’ib]). Bendera ini tersebar sesuai
dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan sehingga berjumlah lebih dari
satu.Banyak hadis yang menjelaskan tentang al-Liwa’ dan ar-Rayah ini,
di antaranya dari Ibn Abbas ra.:
«كَانَ
لِوَاءُ -صلى الله عليه وسلم- أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ»
Bendera (Liwâ’) Rasulullah saw. berwarna putih
dan panji (Râyah)-nya berwarna hitam (HR al-Hakim, al-Baghawi dan
at-Tirmidzi).
Dari Ibn Abbas ra. juga dinyatakan:
«كَانَتْ
رَايَةُ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ،
مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ»
Panji (Râyah) Rasulullah saw. berwarna hitam dan
bendera (Liwâ’)-nya berwarna putih, tertulis padanya: Lâ ilâha illalLâh
Muhammad RasûlulLâh (HR ath-Thabrani).
Dari Jabir bin Abdullah ra. juga dituturkan:
«أَنَّ
النبي -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ»
Sungguh Nabi saw. Itu, Liwa’-nya pada Hari
Penaklukkan Kota Makkah, berwarna putih (HR Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn
Hibban).
Dari al-Hasan ra. pun dikatakan:
«كَانَتْ
رَايَةُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ»
Râyah Nabi saw. berwarna hitam
disebut al-‘Uqab (HR Ibn Abi Syaibah).
Kemuliaan dan Kewibawaan al-Liwa’ dan ar-Rayah
Di dalam Islam, sesungguhnya bendera menduduki
posisi yang sangat tinggi. Dulu bendera ini selalu diusung oleh tangan yang
suci dan mulia, tangan Baginda Rasulullah saw., di atas sebilah tombak dalam
setiap peperangan dan ekspedisi militer. Panji dan bendera juga memiliki
kedudukan yang sangat mulia karena di dalamnya bertuliskan kalimat tauhid yang
mulia, “La Ilaha illalLah Muhammad RasululLah.
Meskipun bendera ini hanya selembar kain yang
akan berkibar bila tertiup angin, di hati musuh-musuh Islam, ia laksana
sambaran tombak dan panah yang melesat secepat kilat. Sebaliknya, kecintaan
pembawa bendera terhadap benderanya melebihi cintanya seorang yang dimabuk
asmara.
Begitu mulianya kedudukan bendera ini, Nabi
saw. pernah menyerahkannya kepada beberapa sahabat yang sangat pemberani,
seperti Ja’far ath-Thiyar, Ali bin Abi Thalib dan Mush’ab bin Umair. Para
sahabat ini senantiasa menjaga bendera dan panji ini dengan penjagaan yang
sangat sempurna. Mereka menjaganya dengan sepenuh jiwa.
Para sahabat yang pemberani, rela terbunuh
untuk memelihara dan mempertahankan eksistensi bendera itu hingga ajal mereka.
Semua itu dilakukan karena penghormatan dan pengagungan mereka terhadap panji
dan bendera Rasulullah saw. Bahkan mereka rela berkorban untuk menjaga bendera
itu. Sebab, bendera adalah simbol kebenaran, simbol jihad dan simbol tauhid.
Bendera juga merupakan simbol kemuliaan, keagungan dan kewibawaan.
Untuk menggambarkan kemuliaan, keagungan dan
kewibawaan bendera dan panji Rasulullah saw., cukuplah kisah Mush’ab bin Umair
pada Perang Uhud dalam mempertahankan panji Rasulullah saw. sebagai pelajaran
yang menyentuh hati siapapun yang mengimani Allah dan Rasul-Nya.
Mush’ab bin Umair terus membawa bendera
tersebut. Lalu datanglah Abu Qamiah, dengan mengendarai kuda, menyabetkan
pedangnya hingga tangan kanannya putus. Namun Mush’ab bersyair dengan lantang: Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul (TQS Ali Imran [3]: 144).
Lalu bendera itu ia ambil dengan tangan
kirinya. Ia terus bertahan. Namun, tangan kirinya berhasil ditebas oleh orang
kafir. Lalu ia menelungkupkan bendera itu di dada dan lehernya. Dia lalu
mengulang lantang Quran Surat Ali Imran ayat 3. Kemudian datanglah serangan
ketiga. Akhirnya, beliau menemui syahid. Tombaknya patah. Mush’ab tersungkur ke
tanah. Benderanya pun jatuh, kemudian diambil oleh Abu ar-Ruum bin Harmalah.
Tatkala kaum Muslim kembali ke Madinah bendera itu terus ia pegang hingga
memasuki Madinah.
Hadis-hadis yang berbicara tentang bendera
merupakan hadis yang membicarakan salah satu bagian dari sistem pemerintahan
Islam, yakni bagian dari atribut kenegaraan Daulah Islamiyah, juga sebagai
simbol tertinggi dalam menjalankan misi-misi Daulah Islam. Para sahabat besar
sangat memperhatikan hal tersebut. Pada Perang Khaibar Rasulullah saw.
bersabda:
«لأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ،
وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ»
Sungguh aku akan memberikan ar-Râyah ini esok
hari kepada seseorang, yang ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya; ia
mencintai Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Malam harinya semua orang tidak tidur dan
memikirkan siapa di antara mereka yang besok akan diserahi bendera itu.
Adanya mandat resmi dalam mengemban al-Liwâ’
dan ar-Rayah ini menunjukkan bahwa ia adalah simbol negara sehingga
memperjelas kedudukan Rasulullah saw. sebagai pemimpin suatu negara, yakni
Negara Islam (Daulah Islam)
Al-Liwa’ dan ar-Rayah Kini
Sungguh kemuliaan dan kewibawaan al-Liwa’
dan ar-Rayah terus terjaga selama beberapa abad lamanya hingga berakhir
dengan tragis setelah muncul dan berkembangnya nasionalisme dan negara bangsa (nation
state). Keduanya menjadi faktor utama keruntuhan Khilafah Islamiyah pada 3
Maret 1924. Dalam nation-state, rakyat mengidentifikasi diri mereka
sebagai sebuah “bangsa” (nation), yaitu suatu komunitas manusia yang
menganggap dirinya satu kesatuan berdasarkan kesamaan etnis, sejarah, bahasa,
budaya, atau faktor pemersatu lainnya.
Gagasan nation-state telah menjadi racun
yang mematikan karena telah menimbulkan disorientasi jatidiri, juga
disintegrasi dan perpecahan kaum Muslim. Gara-gara ide nasionalisme yang
terkandung dalam konsep nation-state, umat Islam mengalami disorientasi
jatidiri sehingga tersesat dalam mengidentifikasi-kan dirinya. Sebagai contoh,
umat Islam dari berbagai bangsa, seperti Turki dan Arab, yang awalnya
mengidentifikasikan diri mereka sebagai umat Islam” yang dipersatukan dengan
akidah Islam, akhirnya mengidentifikasikan diri mereka sebagai bangsa Turki”
dan “bangsa Arab. Inilah racun yang menjadi cikal-bakal disintegrasi dan
perpecahan umat Islam.
Ada juga faktor eksternal berupa konspirasi
kafir penjajah untuk memaksakan perpecahan umat Islam melalui Perjanjian
Sykes-Picot pasca Perang Dunia I (1914-1918). Menurut perjanjian ini, Inggris
dan Prancis sepakat untuk membagi Dunia Arab di antara mereka berdua. Inggris
mengambil kendali atas Irak, Kuwait dan Yordania. Prancis diberi Suriah modern,
Lebanon dan Turki selatan. Adapun status Palestina ditentukan kemudian, dengan
memperhitungkan ambisi Zionis. Zona kontrol yang diberikan kepada Inggris dan
Prancis memperbolehkan beberapa jumlah pemerintahan Arab sendiri di beberapa
wilayah meskipun dengan kontrol Eropa atas kerajaan-kerajaan Arab tersebut. Di
wilayah lain, Inggris dan Prancis dijanjikan kontrol total.
Dalam perkembangan selanjutnya, negeri kaum
Muslim yang dulunya ada dalam satu negara, yakni Negara Khilafah, dan satu
orang pemimpin, yakni Khalifah, menjadi terpecah-belah dalam negara-bangsa (nation
state). Mereka memiliki batas wilayah, penguasa, identitas kebangsaan dan
bendera sendiri. Paling tidak, saat ini ada sekitar 57 negara-bangsa dan 57
bendera negara yang dulunya ada dalam wilayah Khilafah Islam. Sejak itulah
keberadaan al-Liwa’ dan ar-Rayah menjadi asing dan terasingkan.
Kemuliaan dan kewibawaannya seketika hilang diganti dengan simbol-simbol
murahan yang dipaksa untuk dikeramatkan.
Upaya mengalienasi syariah Islam dan simbol
pentingnya, termasuk di antaranya al-Liwa’ dan ar-Rayah, dilakukan
secara sistematis oleh negara kafir penjajah dengan dibantu oleh penguasa
anteknya di negeri kaum Muslim. Al-Liwa’ dan ar-Rayah yang dulu
dimuliakan, diagungkan, bahkan orang-orang terbaik berharap untuk mengusungnya,
kini distigmatisasi. Tujuannya adalah agar umat Islam menjauhinya. Kemunculan
ISIS dengan bendera tauhidnya, yang sangat jauh dari konsep Khilafah yang
benar—bahkan diidentikkan oleh media dengan kekejaman dan dibiarkan oleh negara
kafir penjajah—adalah bukti ada upaya monsterisasi Khilafah, sekaligus
monsterisasi simbol-simbolnya. Ekspos berita ISIS di berbagai media telah
berhasil” membuat stigma negatif bahkan kriminalisasi terhadap Khilafah Islam
dan bendera tauhidnya. Kasus penangkapan Nurul Fahmi yang mengusung bendera
merah putih bertuliskan kalimat tauhid “La Ilaha IllalLah Muhammad
RasululLah” serta pengambilan paksa ar-Rayah ketika kedatangan Raja
Salman oleh Kepolisian adalah bukti bahwa kriminalisasi telah dan sedang
dilangsungkan.
Erat Kaitannya dengan Khilafah dan Jihad
Al-Liwa’ dan ar-Rayah sesungguhnya tidak bisa
dipisahkan dengan Daulah Islam/Khilafah dan jihad fi sabilillah. Liwa’’
(bendera) adalah bendera resmi Daulah Islam pada masa Rasulullah saw. dan para
Khalifah setelah beliau. Ini adalah kesimpulan Imam as-Sarakhsi, yang dikuatkan
dalam kitab Syarh as-Sayr al-Kabir karya Imam Muhammad bin
al-Hasan as-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah. Disimpulkan: “Liwa’ adalah
bendera yang berada di tangan penguasa. Ar-Rayah adalah panji yang dimiliki
oleh setiap pemimpin divisi pasukan, di mana semua pasukan yang ada dalam
divisinya disatukan di bawah panji tersebut. Liwa’ hanya berjumlah satu buah
untuk keseluruhan pasukan. Liwa’ digunakan sebagai patokan pasukan ketika
mereka merasa perlu untuk menyampaikan keperluan mereka ke hadapan penguasa
(Imam). Liwa’ dipilih berwarna putih. Ini ditujukan agar ia bisa dibedakan
dengan panji-panji berwarna hitam yang ada di tangan para pemimpin divisi
pasukan.
Sejak Daulah Islamiyah (Negara Islam) berdiri
pada masa Rasulullah saw., beliau mulai membangun pilar-pilar negara Islam,
menjaga stabilitas keamanan negara dengan berbagai cara yang dibenarkan
syariah, mengirimkan delegasi ke negara-negara tetangga, dan melakukan futuhat
dengan jihad fi sabilillah.
Para ulama sirah berbeda pendapat dalam
menetapkan jumlah peperangan, ekspedisi militer serta utusan-utusan yang
dilakukan Rasulullah saw. Ada yang mengatakan 25 peperangan. Ada yang
berpendapat 26. Ada yang menyatakan 27. Ada juga yang mengatakan 29 peperangan.
Rasulullah saw. tidak hanya melakukan peperangan, tetapi juga mengirimkan
ekspedisi militer dan utusan-utusan untuk memberikan pelajaran kepada orang
munafik, Yahudi dan bangsa Arab sekitarnya. Ekspedisi militer (saraya)
ini ada yang mengatakan 47 kali hingga 70 kali.
Di dalam perang dan ekspedisi militer beliau
menyerahkan al-Liwa’ kepada sahabat beliau yang terpercaya. Di antara
sahabat yang diberi kepercayaan memegang bendera tersebut di antaranya: Hamzah
bin Abdul Muthallib, Saad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Mush’ab bin Umair,
Saad bin Muadz, Hubbab bin Mundzir, Usaid bin Hudhair, Saad bin Ubadah, Abu
Bakar Shiddiq, Zubair bin Awam, Saad bin Abi Waqash, dan sahabat lainnya.
Salah seorang sahabat yang dipercaya membawa
bendera dalam ekspedisi Perang Mu’tah adalah anak paman Rasulullah saw, Ja’far
bin Abi Thalib. Beliau membawa bendera dengan tangan kanannya. Namun, tangannya
berhasil ditebas. Lalu bendera itu dibawa dengan tangan kirinya. Lagi-lagi
tangan kirinya berhasil ditebas. Selanjutnya ia menggamit bendera dengan lengan
atasnya, hingga ia menemui syahid. Saat itu beliau ra. baru berumur 33 tahun.
Fakta sejarah tersebut menunjukkan kepada kita
bahwa al-Liwa’ dan ar-Rayah tidak bisa dipisahkan dari Negara
Khilafah dan Jihad fi Sabilillah. Karena itu satu-satunya jalan untuk
mengembalikan kemuliaan, keagungan dan kewibawaan al-Liwa’ dan ar-Rayah
adalah mewujudkan kembali Khilafah Islamiyah serta Jihad fi Sabilillah.
#IndonesiaMoveUp
#PanjiRasulullah
Hormatku
+Muhammad Sabran Ingin Ngobrol bersama saya Like Fans Page MS- Muhammad Sabran , Follow Twitter @MuhammadSabran. Telegram https://t.me/SabranTrainer
Posting Komentar untuk "Panji Rasulullah"