Rintik-rintik Air Mata, Sepanjang Perjalanan Itu
Jika engkau senang dalam kebersamaan,
maka bersiaplah berjumpa dengan perpisahan. Jangan terlalu terlena dengan
kebahagiaan, sebab suatu kali kesedihan akan datang menyapa. Semua, di dunia
ini, telah Allah pergilirkan. Susah-senang. Perjumpaan-perpisahaan. Pada bagian
ini, saya akan berbagi tentang kisah datangnya kabar duka itu. Kabar kalau ayahku
sudah tiada. Bukan hendak membuka luka lama. Hanya ingin berbagi, betapa
perihnya berpisah dengan orang yang kita cinta. Maka, untuk sahabat yang masih
membersamai ayah, hormati dan berbaktilah padanya. Sebelum kita terpisahkan
oleh ajal. Bila ada sahabat yang senasib denganku, sedih itu wajar. Fitrah anak
yang kehilangan ayahnya memang begitu. Yang tidak wajar adalah terlalu lama
larut dalam kesedihan. Di alam barzah sana, ayah tidak butuh kesedihan kita.
Yang dibutuhkannya adalah kiriman doa dari anak-anak yang soleh, anak yang
senantiasa taat terhadap perintah dan larangan Allah SWT.
Kamis, 31 Maret 2011. Pukul 11.30 air
mata duka mengalir sudah. Saat saya menerima telepon dari seorang sepupu.
Namanya Sudi dari Mangkutana. Kabar duka yang dia sampaikan, ayah telah tiada.
Saat itu mata menjadi sembab berair. Tak kuasa membendung derai air mata. Badan
terasa lemas. Seolah tulang-tulang remuk semua. Emosi hati mulai berkecamuk.
Serasa ingin menghantam kaca jendela. Ingin berteriak menghardik dunia. Rasanya
tidak adil, Allah memanggil ayah begitu cepat. Dengan cara yang tiba-tiba pula.
Bersyukur diri masih bisa
beristighfar. Memohon ampun kepada Allah, atas kelancangan yang baru saja
diperbuat. Menenangkan gejolak jiwa. Membisiki diri, bahwa inilah takdir.
Ikhlas menerimanya adalah pahala. Bila tidak ikhlas, itu dosa. Pelan-pelan,
saya mulai bisa menerima semuanya. Itu bukan berarti masalah selesai. Justru
masalah yang lebih besar baru datang menyapa. Bagaimana hendak saya katakan
kepada ibu? Kalau orang terkasih yang telah menemani hidupnya puluhan tahun,
telah tiada. Wafat secara tiba-tiba. Ini perkara yang belum bisa saya temukan
jalan keluarnya. Bertepatan saat itu ibu ada di Makassar.
Kakakku di Jakarta saya hubungi.
Adikku yang sementara mengikuti kegiatan kampus, saya suruh lekas ke tampatku.
Harus segara menuju Mangkutana. Melihat ayah untuk terkahir kalinya. Tak
seberapa lama adikku datang. Inilah saat-saat terberat. Bayangkan galaunyanya
hati. Saat engkau harus menahan air mata, di hadapan ibu. Padahal hati teriris
pedihnya sedih. Kami memandangi ibu tercinta. Dengan tak mengijinkan air mata
untuk keluar walau setetes. Ibu jangan dulu tahu tentang berita duka ini. Lalu
kapan? Ah nanti saja. Saya yakin, ada waktu yang tepat nantinya, menceritakan
semuanya. Yang jelas bukan sekarang.
Saya mengajak ibu keluar rumah. Lalu
memintanya untuk ikut menumpang taksi. Tanpa tanya, ibu menurut saja. Semua
terjadi begitu cepat. Ibu tidak sempat membawa sehelai pakaianpun. Hanya apa
yang melekat di tubuh. Mengenakan kerudung dan kaos kaki yang sempat beliau
kenakan sebelum keluar rumah.
Di samping pak sopir, saya duduk
memendam sedih yang semakin berkecamuk. Di kursi belakang, ada ibu dan adikku.
“Pak, berapa kalau kita ke
Mangkutana?” Tanyaku kepada sopir yang langsung kebingungan lagi terkejut.
Siapa yang tidak kaget, ada penumpang yang ingin ke Mangkutana. Seperti yang
pernah kita singgung sebelumnya, Makassar-Mangkutana itu sekitar 400-an km.
“Wah dek, jauh sekali,” jawab sang
sopir, “tapi kalau mau ke sana,kita harus ke kantor dulu ambil surat jalan.
Ongkosnya sekitar 2 jutaan.”
Dalam keadaan panik dan sedih, orang
seperti terhipnotis. Tidak perduli lagi dengan uang. Berapapun akan dibayar,
asal lekas sampai di Mangkutana. Syukurlah, Allah masih memberikan ijin nalar
logis untuk melintas. Kalau menggunakan taksi pengurusannya akan lama. Sudah
itu mahal pula.
“Kalau begitu saya turun di Daya saja
Pak. Dekat patung ayam.” Daya adalah tempat mangkal mobil-mobil yang biasa
menuju daerah. Harapanku ada mobil yang bisa dicarter langsung ke Mangkutana.
Dan semoga ongkosnya lebih murah. Mobil-mobil daerah pun terkenal dengan
kecepatannya.
Turun dari taksi, tiga orang datang
menghampiri. Tak perlu pikir panjang. Negosiasipun saya lakukan. waktu terus
berdetak. Kalau kami tidak cepat, akan ketinggalan. Dan kesepakatan pun
tercapai. Harga sampai ke Mangkutana Rp 1,1 juta untuk tiga orang. Padahal
ongkos normalnya hanya kisaran Rp 95 ribu – 100 ribu perorang. Ah, sekarang
bukan waktunya untuk pikirkan untung rugi. Kalau pun sang sopir menawarkan
harga yang lebih tinggi, akan kami ambil. Pokoknya harus cepat sampai ke
Mangkutana. Inilah kekuatan cinta. Kalau sudah cinta yang bicara, terkadang
harta tak lagi dipandang. Apalagi perkara cinta anak kepada ayahnya.
Dari rumah sampai sekarang, ibu hanya
diam. Tidak pernah bertanya, ada apa gerangan yang terjadi. Kami mencoba
menghibur ibu. Walau hati pedih, seperti diiris-iris sedih. Mobil melaju dan
pikiranku pun melayang. Merenungi dan mensyukuri, saya masih bisa tenang dalam
kondisi seperti ini. Tenang bukang berarti tidak bersedih. Tapi ketenangan
dalam makna kesabaran. Bahkan mampu menyembunyikan kesedihan. Semua ini adalah
hasil dari tuntasnya kita memahami qadha dan qadar dari Allah. Kepergian Allah,
sudah qadha (ketentuan) Allah. Ini masuk dalam perkara yang tidak dikuasai
manusia. Kita tidak bisa memilih. Andai bisa memilih, maka saya akan memilih
untuk terus bersama ayah. Atau saya ingin memilih, biarlah nyawa saya yang
diambil, jangan ayah. Tapi tidak bisa begitu. Untuk perkara qadha, kita
dituntut untuk ikhlas menerima. Semua konsep kehidupan ini, saya dapatkan saat
halqah. Halqah? Ya pertemua sekali sepekan untuk mengkaji ilmu-ilmu Islam di
Hizbut Tahrir Indonesia.
Sesekali, saya melirik ke cermin
mobil. Ada pantulan bayangan ibu yang hanya diam. Dan adikku yang sedari tadi
berteman dengan telepon genggamnya. Dia pasti lagi sibuk mewartakan kabar duka
ini kepada para keluarga. Melihat mereka berdua, sembari ada gambaran wajah
ayah yang selalu terbayang, membuat air mata tak mampu lagi dibendung. Walau
ditahan sekuat yang saya bisa. Saya buka jaket dan menutup kepala. Berpura-pura
terlelap tidur. Tapi sebenarnya, saya menangis sejadi-jadinya. Teringat wajah
ayah, tiga hari yang lalu. Masih penuh dengan senyum. Saya tak ingin terus
menangis. Karena di belakang sana, saya tidak ingin ibu tahu kalau saya sedang
tersedu-sedu.
Beruntung, saya punya banyak sahabat.
Sahabat sejati tentunya. Sahabat yang bersama dan setia memberi motivasi di
saat sedih. Berdatangan sms dari mereka. Sahabat sepengajian, ustad-ustad yang
membimbingku. Walau pesan mereka singkat, namun itu sangat berarti. Cukup untuk
menenangkan perasaan. Bahkan dari teman-teman di beberapa organisasi di luar
pulau Sulawesi. Semua mengucapkan turut berduka cita. Dan berpesan untuk selalu
besabar. Ikhlas menerima takdir Allah. inilah indahnya persaudaraan di atas
pondasi akidah Islam. Persaudaraan yang tulus murni.
Mobil melaju kencang. Seolah tak
perduli dengan kesedihan penumpangnya. Tiada terasa, sudah sampai di penghujung
Kota Barru. Senja mulai datang. Mentari telah tergelincir.
“Pak di depan sana, sebelum masuk
Parepare ada SPBU. Tolong singgah dulu. Waktu Asar sudah tiba.” Pintaku kepada
pak sopir.
Kami berempat turun, termasuk pak
sopir, untuk melaksanakan salat. Mengambil air wudhu dan saya didaulat menjadi
imam. Sungguh derai air mata tak tertahan. Baru mengucapkan takbir,
Allahuakbar, runtuhlah bendungan air mata. Usai salat, aku berbalik mencium
ibu. Lalu terlintas pikiran, inilah saat terbaik untuk mengatakan segalanya
kepada ibu. Sehabis salat adalah kondisi diri yang paling tenang dan sejuk.
Semoga dengan begitu, ibu siap mendengar segalanya.
“Ya Allah, berikan kekuatan untuk
menyampaikan kepada ibu apa sebenarnya yang terjadi.” Isi pintaku kepada Allah,
sebelum berbicara kepada ibu. Saya kembali memeluk, lalu mencium ibu, dan
berkata, “Sabar ki nah! Ibu sabar ya!” Ibu merasa bingung. Ibu memang selalu
bersabar, sangat bersabar. Tapi apa sebenarnya yang terjadi? Sekarang di hati
ibu ada sejuta tanya yang tak terjawab.
“Ibu, saya ingin menyampaikan, mengapa
ibu saya bawa secara tiba-tiba. Karena…” sampai pada kalimat ini, saya tidak
sanggup lagi untuk melanjutkan. Tidak kuasa mengatakan kabar duka. Lidah terasa
keluh. Mata hanya ingin terus menangis. Aku mendekap ibu. Lalu membulatkan
hati, bahwa semua harus saya tuturkan. “Ibu sabar ya. Ayah sudah tiada. Ayah
sudah meninggal ibu…ibu…” Kesedihan, air mata, juga kepedihan semuanya mencapai
puncak waktu itu. Tangisku, disusul oleh tangis ibu dan adikku.
Dari kejauhan, pak sopir sudah
membunyikan klakson. Memberi tanda bahwa kita harus segera berangkat.
Perjalanan masih sangat jauh. Belum ada setengahnya. Bergegas kami menuju
mobil. Dengan sisa-sisa air mata yang masih ada.
Kepada pak sopir saya mulai bercerita.
Tentang alasan menyuruhnya memacu mobil lebih kencang. Itulah sebab, mobilnya
saya carter dan tak boleh mengambil penumpang lain. Pokoknya harus terus
melaju. Bila boleh tidak perlu berhenti, kecuali sesampainya nanti di
Mangkutana. Sesekali saya melirik ke belakang. Di sana ada adik dan ibuku, yang
masih berurai air mata. Wanita mana yang tidak bersedih, ditinggal ayah
tercinta secara tiba-tiba. Perempuan mana yang tak berduka, berpisah dengan
suami tercinta untuk selamanya, setelah puluhan tahun bersama. Harus saya akui,
adikku memang luar biasa. Tak jemu-jemu menenangkan ibu. “Sabar bu, ini sudah
takdir.” Itu kalimat penenang yang selalu adikku katakana kepada ibu.
Selentingan protes ibu layangkan,
“Mengapa ibu tidak diberi tahu sejak di Makassar?”
Saya dan adikku punya alasan kuat. Mengapa
baru sekarang mengatakannya. Kami begitu dekat dengan ibu. Kami sungguh
mengetahui karakter dirinya. ibu begitu mencintai ayah. Bila berita duka yang
mendadak ini diberi tahu sejak di Makassar, boleh jadi ibu bisa pingsan. Atau
paling tidak akan terus menangis sejak di Makassar sampai Mangkutana. Niatku
memang akan bercerita tentang semuanya, selepas salat. Dan waktu itu bertepatan
saat hendak memasuki gerbang Kota Parepare.
Sepanjang perjalanan, sepanjang itu
pula saya terbayang akan wajah ayah. Senyumnya, masih begitu jelas teringat.
Senyum yang tak akan pernah lagi saya lihat. Kupejamkan mata, dari dalam hati
ada doa berbisik:
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya kepunyaan-Mu Ya Allah
Allah, ampuni dosa serta khilafku
Selama ini, aku senantiasa menaati perintah-Mu
Memantangkan diri akan larangan-Mu
Selama ini,hamba juga selalu berusaha ikhlas
Menyampaikan, mendakwahkan Islam
Memperjuangkan tegaknya Islam
Allah, satu pintaku kepada-Mu
Agar ayah dapat hidup kembali
Ya, hidupkan Ayah kembali, Allah…
Doa ini memang lancang. Begitulah
manusia. Saat tak tahu harus berbuat apa, sesuatu yang tidak logis pun diminta.
Tidak ada yang kuasa menghidupkan orang mati. Kecuali Nabi Isa yang telah Allah
beri mukjizat. Istighfar berkali-kali terucap. Menginsafi sikap diri yang
sempat tidak ikhlas.
Sekitar 12 jam lebih menyusuri jalan
Makassar – Mangkutana. Dini hari pukul 01.30 kami tiba di rumah duka. Di rumah
saudara kandung ayah. Di depan rumah sudah ramai orang berkumpul. Bergegas saya
memasuki rumah. Dan semuanya adalah benar. Jasad ayah sudah terbaring lemah.
Tubuh yang masih tampak kekar tiga hari yang lalu, kini terbujur kaku. Sang
sopir perkasa, sang guru segala makna kehidupan itu, telah tiada. Melihat jasad
ayah, semua kenangan kembali diputar. Banyak pertanyaan yang beliau lontarkan
kepada saya beberapa hari yang lalu diantaranya nak kapan kamu menikah? Dan
menyelesaikan studimu?. Pertanyaan yang mungkin sebenarnya adalah harapannya
kepadaku, yang belum sempat terwujud. Ayah, belum sempurna bakti ini kepadamu,
namun dirimu telah melambaikan salam perpisahan untuk selamanya.
Hari sudah larut malam, menjelang
subuh. Kami memutuskan untuk mengebumikan ayah, di kala siang saja. Saya, ibu
juga adikku hanya bisa menangis di sisi ayah yang tak akan pernah berdaya lagi.
Membaca Quran, melantunkan doa-doa. Sesekali aku tatap wajahnya. Sepasang
matanya kini terpejam damai. Kuciumi wajah beliau yang sudah terasa dingin.
Tidur di sisinya, menanti fajar tiba.
Waktu berlalu begitu cepat. Andai ada
kuasa menghentingkan perputaran masa, akan saya hentikan waktu ini. Subuh telah
tiba. Ini waktunya untuk memandikan ayah. Saya, adik serta kakak mengalirkan
segayung demi segayung air ke tubuh beliau. Lalu dikafani. Dibawa ke masjid
untuk disalati. Jenazah dibawa ke tempat pemakaman dengan berjalan kaki saja.
Kurang lebih 500 meter jaraknya. Sepanjang jalan, doa terus terucap, semoga
segala karya yang beliau telah tunaikan diterima di sisi Allah.
Ayah, bagaimana kabarmu kini? Ananda
hanya bisa berdoa, semoga kuburmu dilapangkan. Dan dicahayai oleh sinaran amal
solehmu. Kami anak-anakmu,menjadi saksi atas segala baktimu di dunia. Semoga
kelak, Allah telah siapkan satu tempat di surga untuk ayah. Amin…(MS)
Silahkan tinggalkan jejak dengan memberikan Komentar.......
Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini πππwww.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
Hormatku
Coach Sabranπ
Posting Komentar untuk "Rintik-rintik Air Mata, Sepanjang Perjalanan Itu"