Di Balik Sosok Ayahku
“Di balik lelaki yang kuat, ada wanita yang
hebat.”
Di hati setiap anak, pasti ada porsi
cinta yang tidak bisa tergantikan. Cinta itu hanya untuk ibu. Coba sebut, para lelaki hebat di dunia
ini. Pasti di belakangnya berdiri wanita yang selalu tegar. Di balik lelaki
yang kuat, ada wanita yang hebat. Begitu pesan pepatah. Ambil contoh
Rasulullah. Lelaki teragung sepanjang zaman. Saat pertama mendapat wahyu,
gemetaran badannya. Beliau menggigil sejadi-jadinya. Pulang ke rumah dengan
wajah pucat pasi. Beruntunglah, di depan pintu telah siap istri nan cantik
jelita, Khadijah. Zammiluni, zammiluni,
zammiluni. Selimuti saya, selimuti saya, selimuti saya, pinta Rasulullah.
Tak banyak tanya, Khadijah lalu membungkus Rasulullah dengan selembar selimut.
Inilah hebatnya wanita, istri solehah. Dia selalu hadir, pada waktu yang tepat.
Menenangkan saat kebingungan berkecamuk. Menghangatkan ketika dingin hati
datang menyergap.
Inilah hebatnya wanita. Apalagi bila
dia sudah menjadi ibu. Di sinilah tercapai kebahagian yang sempurna. Ibu adalah
seorang wanita super. Begitu luar biasanya, sampai-sampai Rasulullah meletakkan
surga di bawah telapak kakinya. Bersama ayah, pelan-pelan, ibu menata istana
rumah tangganya. Indah sekali, melihat mereka mengajarkan kepada kita
anak-anaknya, tentang praktek rumah tangga yang sakinah, mawadah juga rahmah.
Mengajarkan tentang cinta, memang tak perlu banyak bersilat cinta. Karena cinta
itu butuh bukti, bukan sekadar janji. Setuju?
Oke, sedikit tentang ibuku, namanya
Mukhlisa binti Ilyas. Nama ini yang selalu bersenandung di setiap akhir doaku.
Memang harus begitu. Bila nama ibu terlupa dalam setiap doa, maka wajarlah jika
sang anak mendapat predikat: Durhaka. Beliau lahir di Desa Karang Karangan. Ini
tempatnya di Sulawesi Selatan. Tepatnya di Kota Palopo. Bertemu dengan ayah,
lalu merajut cinta suci, tanggal 27 Mei 1973. Sudah cukup lama memang. Hingga
maut memisahkan keduanya. Ayah pergi tinggalkan ibu, pada 31 Maret 2011. Tidak
hanya di setiap doa, ibu selalu hadir. Dalam training-training yang saya
bawakan pun, cerita tentang ibu mendapat porsi tersendiri.
***
Bahkan harus saya akui, inilah salah satu momentum terpenting dalam trainingku. Momen saat bercerita tentang ibu. Jika kisah ini telah tercerita, menderaslah air mata peserta dan air mataku. Di sini, saya akan berbagi tentang cerita itu. Begini kisahnya:
***
Bahkan harus saya akui, inilah salah satu momentum terpenting dalam trainingku. Momen saat bercerita tentang ibu. Jika kisah ini telah tercerita, menderaslah air mata peserta dan air mataku. Di sini, saya akan berbagi tentang cerita itu. Begini kisahnya:
Syahdan, ada seorang ibu bersama
anaknya. Ayah, sudah tiada. Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Untuk
menyambung hidup, sang ibu bekerja sebagai tukang masak. Menyajikan hidangan
untuk guru-guru di sekolah. Tepat pula di tempat itu, anaknya bersekolah.
Hingga sampai pada satu masa, sang ibu bersua dengan anaknya.
“Anakku…” Sekadar menyapa. Perlambang
cinta seorang ibu. Namun yang disapa, justru memerah parasnya. Sebagai pertanda
malu yang luar biasa. Amarah bergejolak di dalam dada. Ditambah rasa khawatir
akan malu yang siap dia tanggung. “Mengapa wanita tua ini menyapa pada tempat
yang tidak tepat?” Sang anak marah, walau hanya dalam hati saja.
Benar saja, esok hari dia menjadi
bahan olok-olokan teman. Serasa dunia ini begitu sempit. Dirinya dipandang
hina. Bukan karena dia anak tukang masak. Tapi lantaran memiliki ibu bermata
tak sempurna. Ibunya bermata picak, bermata satu.
Sejak hari itu, ada komitmen di dalam
hatinya. Dia akan sungguh-sungguh belajar. Biar kelak menjadi orang sukses.
“Hari ini kalian silakan mengolok-olokku. Tapi lihat saja nanti, kalian akan
aku buat terkagum-kagum. Aku harus sukses. Ya, harus sukses.” Itu tekadnya dalam
hati. ini tekad harga mati. Tak bisa lagi ditawar-tawar.
Baginya hidup ini bagai sebuah kapal.
Kapal diciptakan bukan untuk diikatkan di tepi dermaga. Diterpa dengan ombak
yang kecil-kecil saja. Tapi kapal diadakan untuk mengarungi luas samudra. Siap
untuk ditampar ombak laut nan dahsyat. Hidup pun begitu. Bila ingin
sukses,carilah tantangan di negeri orang. Dia mendapatkan beasiswa untuk
belajar ke luar negeri. Meninggalkan ibu yang bermata picak.
Singkat kisah, impiannya menjadi
nyata. Kesuksesan telah dia genggam. Namun nun jauh di sana, ibu selalu
mengikuti tumbuh kembang anaknya. Yang namanya rindu, memang sulit untuk
dibendung. Hingga satu waktu, ibu datang berkunjung ke rumahnya. Sekadar untuk
berjumpa sapa. Berdecak kagum ibunya, saat baru sampai dip agar rumah. Di
hadapannya ada bangunan laksana istana. Di halamannya yang luas ada makhluk
kecil yang teramat lucu. Berlari-lari. Asyik menikmati permainannya. Dalam hati
sang ibu bergumam, “Itu pasti cucuku.”
Hati-hati, dia dekati anak belia itu.
Niat hati hendak mengelus keningnya. Tapi apa hendak dikata, si cucu justru
lari ketakutan. Sembari berlari dan berteriak-teriak, “Ayah…ayah…ayah…!” Dia
berlari, takut dengan sosok wanita tua bermata satu. Sungguh terkejut ayahnya
saat keluar. Di hadapannya ada wanita tua yang ringkih. Raut wajahnya tak lagi
asing dipandang mata. Itu ibunya.
Tapi, hati telah diselimuti durhaka.
Sang anak pura-pura tak mengenal ibunya. Bukan menyambut dengan senyum manis
dan peluk mesra. Justru hardikan dan usiran yang dia teriakkan pada ibunya.
Dengan langkah gontai dan hati kecewa, ibunya melangkah pergi. Menjauhi rumah
yang bagai istana itu. Apalah daya, maksud hati mengobati rindu. Namun yang
didapat, penistaan dari anak sendiri.
Allah memang selalu punya rencana.
Yang manusia tak pernah tahu akan terjadi apa. Ada reuni akbar, di tempatnya
sekolah dulu. Dia tak bisa membohongi hati kecilnya. Namanya anak, pastilah ada
kerinduan dalam hatinya untuk sang ibu. Hanya saja, saat reuni itu ibunya tidak
terlihat. Ya, sang juru masak sekolah dulu. Seharusnya dia juga hadir. Membawa
makanan dan minuman untuk para tetamu. Rasa penasaran kian membuncah dalam
diri. DI mana wanita bermata satu itu? Di mana ibu? Ingin bertanya kepada
handai taulan yang ada di situ, rasa-rasanya malu. Masa lulusan luar negeri,
kaya harta lagi, punya ibu bermata satu. Dia memutuskan untuk pergi sendiri
mencari informasi. Menyusuri jalan setapak, yang dulu tiap hari dia lalui.
Rumah kecil itu, masih sama dengan yang dulu. Tiba-tiba saja, kenangan-kenangan
indah dengan ibu, mulai terbentang dalam ingatan.
Pintu diketuk, salam diucap. Sekali
dua kali, tak ada yang menjawab. Berkali-kai, pun sama, jawaban yang dinanti
tak kunjung ada. “Maaf, apa anda anak dari ibu yang tinggal di sini?” Ada suara
dari belakangnya.
“Iya betul, dia ibu saya. Ke mana
beliau pindah?”
Yang ditanya hanya tertunduk. Matanya
mulai berkaca-kaca. Jelas sekali ada kesedihan di sana. “Beberapa hari yang
lalu, ibumu sudah tiada.” Seperti ada halilintar yang menyambar. Rasanya badan
tiba-tiba lemas seperti tak bertulang. Tiada kata yang kuasa untuk diucap.
Kecuali air mata, yang pelan-pelan mulai turun berlinang. “Ibumu hanya
menitipkan sepucuk surat ini.”
Tanganya gemetar. Menerima selembar
kertas putih yang sudah lusuh. Seolah ada bayang-bayang raut wajah ibunya di
sana. Perlahan-lahan, dia buka kertas wasiat itu. Penasaran, apa gerangan pesan
terakhir ibunda. Begini isi suranya:
Assalamu
Alaikum Wr.wb
Buat
anakku tercinta
Peluk
cium dari Ibu yang rindu pelukanmu.
Surat
ini ibu tulis saat ibu terbaring sakit, dan ibu merasa tidak lama lagi ajal ibu
akan tiba karena tubuh yang semakin lemah. Tapi aku tak bisa pergi dengan
tenang sebelum ibu minta maaf dan bercerita tentang satu hal .
Anakku
yang saya cintai dan banggakan.
Ibu
merasa bangga dengan kepintaran dan kesuksesan telah engkau raih selama ini,
tapi yang pasti dalam surat ini ibu ingin menyampaikan perasaan bersalah ibu.
Apa itu?
Ibu
minta maaf karena ibu pernah menegurmu disekolah dan itu menjadi awal engkau
menjadi ejekan teman-temanmu bahwa engkau anak yang ibunya bermata satu. Ibu
minta maaf karena pernah membuat anakmu menangis dan ketakutan.
Anakku
yang ibu cintai
Ada
satu hal lagi yang ingin ibu sampaikan. Pada saat engkau kecil dulu, engkau
asik bermain-main dengan temanmu dengan riangnya. Tapi tidak lama kemudian ibu
mendengarmu menangis dengan kerasnya, meraung-raung seakan merasakan sakit yang
sangat. Maka ibupun mengendongmu dengan penuh rasa cinta dan ibu membawamu
kerumah sakit karena melihat begitu banyak darah diwajahmu, walaupun pada saat
itu ibu tau, ibu tidak memiliki uang sepeserpun.
Sesampainya
di rumah sakit engkau langsung ditangani oleh beberapa dokter di ruangan UGD.
Aku hanya bisa menunggu diluar menunggu kabar selanjutnya, dan tanpa terasa ada
seorang dokter yang membangunkanku dari tidurku sejenak menghilangkan rasa
lelah berlari tadi. Maaf ibu harus membangunkan ibu, ia dokter bagaimana,
bagaimana kondisi anakku dokter ? apakah ia sehat pak dokter ? (ibu terus
bertanya dengan sedikit tetesan air mata). Alhamdulillah bu anak anda selamat,
ibu langsung memeluk dokter dan mengucapkan terimakasih dokter…terimakasih.
Tapi ada satu hal yang ingin kami sampaikan kepada ibu….iya apa itu dok? Maaf
bu, kami hanya manusia biasa, anak anda mengalami luka yang sangat berat pada
matanya dan harus menjalani hidup selanjutnya dengan satu buah mata. Maaf ibu,
sambil menangis dan memeluk dokter. Dokter…..dokter ambil mata saya…ambil mata
saya dan berikan kepada anak saya dokter.
(
Saat membaca kalimat itu, air matanya mengalir dengan derasnya dan seakan tidak
sanggup lagi membaca kata-kata dalam surat itu. Ia hanya menyesal dan merasa
sangat bersalah.) seandainya aku tau sejak dulu bahwa mata yang saya gunakan
ini adalah mata ibu saya, maka saya akan mencintainya dan tidak malu memiliki
ibu yang bermata satu. Saya akan memberikan anak saya untuk di temani bermain.
Ya Allah kenapa ini harus saya tau setelah ia pergi untu selamanya, Ya Allah
ampunilah aku
Dokterpun
membawa ibu dan dirimu keruang operasi, dan Alhamdulillah operasinya sukses.
Ibu merasa tenang dapat menceritakan hal ini anakku. Ibu berharap dalam operasi
itu dan senantiasa berdoa semoga mata itu memberikan manfaat dan dapat
membuatmu sukses.
Tak
lupa ibu mengucapkan terimakasih banyak karena dengan mata itu enggau telah
memperlihatkan ibu ilmu yang banyak, dunia yang begitu luas dan masih banyak
lagi, terimakasih anakku
Peluk
cium dari ibumu.
Wassalam
***
Ini sedikit cerita. Semoga bisa
menggugah. Bahwa ada orang yang teramat sayang dengan kita. Dialah ibu. Walau,
kadang-kadang kita salah menilai. Karena memang, wujud sayang orang tua itu
beda-beda. Ada yang menunjukkan rasa sayangnya dengan nasehat yang keras.
Sampai-sampai, kita mengiranya marah. Tidak, beliau tidak marah. Justru itu
bukti sayangnya dalam bentuk yang berbeda.
Kalau memang mereka tak sayang, lalu
untuk apa ayah membanting tulang, peras keringat bekerja seharian? Apa pula
maksud ibu, pagi-pagi sudah berjibagu dengan segala perkakas dapur, di kala
kita masih terbaring nyeyak? Jawabannya hanya satu. Itu bukti kecintaan mereka
kepada kita, anak-anaknya. Kalau sudah begini, alasan apalagi yang membuat kita
enggan berbakti kepadanya? Ayo, datangi ibu, jumpai ayah. Ambil, jabat dan cium
mesra tangannya. Memohon maaf atas segala khilaf yang ada. Mumpung keduanya
masih ada di dunia. Karena kelak, akan ada masanya, kita ingin menjabat
tangannya tapi semua sudah tidak bisa. Sebab mereka sudah tak ada. Hanya ada
nisan bertulis namanya dan gundukan tanah, pertanda pusara.
Seperti yang sekarang saya rasakan.
Masih ingin bercengkrama dengan ayah dan ibuku. Akan tetapi, Allah telah
memisahkan kami. Hanya doa dan surah yasin yang bisa terkirimkan untuk beliau.
Juga buku ini yang bercerita tentangnya. Kalau ada keberkahan dan pahala dari
buku ini, semoga Allah juga berkenan mengirimkan untuk kedua orang tuaku, Amin.
Berharap kelak, perjumpaan yang kedua dengannya adalah di surga. Sebuah
pertemuan yang akan abadi selamanya.
Ayah,
ibu, engkau sepasang permata hati, yang selalu aku sayang!
Silahkan tinggalkan jejak dengan memberikan Komentar.......
Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini πππwww.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
Hormatku
Coach Sabranπ
Posting Komentar untuk "Di Balik Sosok Ayahku "