Ayah Lelaki tak biasa
Ridha Allah bergantung pada keridhaan orang tua. Dan kemurkaan
Allah tergantung kemurkaan orang tua (H.R. Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Jika ada orang yang hendak
dikenang-kenang jasanya, maka ayah adalah salah satu yang paling pantas. Sahabat,
di sela-sela kesibukan, cobalah luangkan waktu untuk merenung. Merefleksikan
kembali, kehidupan yang telah kita lalui, bersama orang-orang tercinta. Ayah
salah satunya. Tidak perduli beliau masih ada atau sudah tiada. Merenunglah,
kenanglah saat-saat indah bersamanya. Sesekali coba lakukan ini: Tatap
lekat-lekat wajahnya. Bila sungkan cari saja foto tentang dirinya. Coba lihat
keningnya, cermati matanya, seksamai hidung atau dagunya. Pasti banyak yang
mirip dengan punya kita. Awas kalau tidak
ada yang mirip, jangan-jangan kita anak tetangga. Ah sedikit becanda. Anak
itu pasti ada yang menyerupai bapaknya. Like father,like son katanya.
Kenanglah pula, tentang sifat beliau.
Pasti ada yang menurun pada kita. Kalau kata para bijak bestari, buah jatuh tak
juah dari pohonnya. Selama itu adalah karakter yang baik, warisi dan
lestarikanlah. Namun bila ada sifat yang melanggar syariat, tinggalkan dan
perbaikilah. Ingat, ketaatan kepada orang tua itu wajib adanya. Dengan syarat,
ketaatan itu tidak bertentangan dengan ketaatan kepada Allah. Bila ayah memaksa
anaknya untuk berlaku maksiat, maka tidak ada ketaatan untuknya. Sekalipun dia
ayah. Karena Allah adalah segalanya.
Tirulah ketegasan seorang sahabat
Rasulullah. Sa’ad namanya. Ibunya pernah mengancam untuk bunuh diri, bila Sa’ad
tetap teguh pada syahadatnya. Tapi dengan gagah dan tegar, Sa’ad balik
mengancam, “Andai ibu punya seratus nyawa. Dan satu persatu nyawa itu keluar di
hadapanku, saya tidak akan pernah meninggalkan agama ini selamanya.”
Seorang anak yang beruntung adalah
mereka yang bermimpi, menjadi lebih baik dari ayahnya. Dan pasti ayah pun
begitu. Ingin anaknya, melebihi dirinya. Ingat-ingat segala rupa
kenangan-kenangan bersejarah yang ada. Dengan begitu, ayah akan terasa selalu
ada. Dan kerinduan untuk berbakti kepadanya pun terus bersemayam di dalam dada.
Wujudnya, paling tidak terekspresikan dengan menghadirkan nama beliau dalam
setiap doa-doa kita.
Ada satu kenangan yang bisa sahabat
hadirkan. Kenangan tentang pengorbanan ayah untuk kita. Kalau mau dihitung-hitung,
jumlahnya tiada terkira. Hebatnya, beliau tak pernah mengharap balas jasa. Coba
kita renungi. Bisanya kita menulis hari ini adalah karenanya. Karena ayah.
Bayangkan saja, andai dulu ayah enggan menyekolahkan kita. Atau tidak bersedia
membayar uang sekolah. Mau apa kita sekarang? Pandangilah diri. Melihat badan
yang sekrang sudah bertumbuh kian tinggi. Ini juga ada andil ayah. Atau mungkin
sekarang ada di antara kita yang masih sangat bergantung pada ayah. Bergantung
pada uang bulanan dari beliau. Dalam setiap hidup kita, ada sentuhan tangan
ayah di sana.
Dengan pengorbanan yang sebegitu
besar, apa yang sudah kita balaskan untuk ayah? Boleh jadi sudah ada. Mungkin
di hari tuanya, kita berhasil membahagiakannya, mencukupi segala ragam kebutuhan
hidupnya. Kita pun kadang menyanjung-nyanjung diri, itu ayah pergi haji karena uang yang saya beri. Tidak perlulah
menyanjung diri begitu. Karena memang sepantasnyalah anak berbakti pada
ayahnya. Ingat, sebesar apapun pengorbanan kita saat ini, itu belum setara
dengan pengorbanan ayah untuk kita.
Andai saja ayah mencatat segala
pengorbanannya untuk kita. Lalu belia menagih, “Ini daftar biaya yang sudah
ayah keluarkan untukmu. Jumlahnya sekian. Silakan segera dibayar.” Pasti kita
akan menjadi orang yang terbanyak utangnya. Lantaran sudah begitu besar kadar
pengorbanan ayah. Namun jangan khawatir. Ayah adalah anugrah indah yang Allah
berikan kepada kita. Dia tak akan menagih. Kalau begitu, tugas kita menjadi
anak yang tahu diri. Kepada ayah, berbaktiklah.
Berterimakasih. Ini yang sering kali
kita lupa. Berterima kasih kepada Allah, telah menganugrahkan ayah terbaik
untuk kita. Pun berterima kasih kepada ayah, atas segala pengorbanannya. Ayah,
lelaki yang seolah menjadi perisai. Melindungi kita dari segala mara bahaya.
Ayah, lelaki yang bagai embun pagi. Datang membawa kesejukan di tengah
kegersangan hati. Ayah, lelaki yang dititipkan untuk menjadi guru terbaik.
Mendukung di saat kita benar dan menegur dengan santun saat diri berlaku salah.
Allah, ada doa dari kami, para anak
yang masih sedikit berbakti. Semoga, masih teranugrahkan kesempatan untuk kami,
membuktikan cinta pada ayah. Dan membalas sedikit pengorbanan beliau dengan
bakti yang kami sanggupi. Beripula kami waktu, untuk bisa membuatnya tersenyum
berseri-seri. Sekarang di dunia, juga nanti di akhirat.amin
Ayah,
Lelaki Tak Biasa
Allah, sungguh indah Dia mengatur
harmonisasi alam. Semua begitu seimbang. Tidak semua makhluknya hidup di darat.
Mereka berbagi tugas. Ada yang diamanahi untuk tinggal di lautan. Juga
berterbangan di angkasa raya. Jika di selatan bumi air laut pasang, mungkin di
selatan sedang surut. Allah membagi-bagi tugas, sesuai kadar kesanggupan
makhluknya. Tidak pernah dan tak akan pernah burung diperintahkan untuk
menyelam. Begitu juga manusia. Allah sudah membagi peran antara pria dan
wanita, sesuai karakter masing-masing. Ini bukan berarti ada diskriminasi
antara pria dan wanita. Allah membagi-bagi peran, agar kehidupan menjadi
seimbang. Ada kerja-kerja yang cocok dilakukan lelaki, tapi tidak bisa oleh
perempuan. Juga sebaliknya.
Bagi-bagi amanah ini, sangat tampak
dalam kehidupan rumah tangga. Ayah berperan sebagai kepala rumah tangga, lalu
ibu sebagai penjaga rumah tangga. Menjaga harta dan kehormatan suami dan
mendidik anak-anaknya. Bukan bermakna, lelaki lebih tinggi dan lebih mulia dari
perempuan. Sama sekali tidak. karena yang menentukan tinggi dan rendahnya
seseorang di hadapan Allah adalah ketakwaannya. Siapa yang lebih bertakwa,
dialah yang lebih mulia. Tidak perduli, lelaki atau wanita.
Itu pula yang saya amati dari ayah dan
ibu. Tampak sekali karakter berbeda antara keduanya. Ambil saja contoh begini.
Saat dikabari kalau anaknya lulus di universitas favorit. Ibu dan ayah, berbeda
dalam mengekspresikan rasa senangnya. Kalau ibu akan gembira ria dan
menunjukkan ke semua orang. Saat berkumpul bersama kerabat-kerabatnya,
diceritakanlah semuanya. Dengan sangat detail bila perlu. Ini memang kodrat
wanita. Suka ngomong. Jadi kalau wanita cerewet, itu fitrah. Wanita memang
lebih banyak berkata-kata ketimbang pria. Tapi, untuk para wanita, cerewetlah
pada tempatnya, insya Allah jadi ibadah. Cerewet menasehati saat anaknya
berlaku salah, misalnya. Ini model cerewet yang bernilai ibadah.
Lain dengan ayah. Mendengar kabar
gembira tentang anaknya, beliau lebih banyak diam. Bila dilihat sepintas,
beliau seperti tidak bahagia. Datar-datar saja ekspresinya. Itu yang terlihat
oleh mata. Tapi dalam hatinya ada gejolak. Beliau juga gembira. Namun tidak
seperti ibu. Dalam diamnya ayah sebenarnya sementara berpikir, tentang darimana
biaya kuliah anaknya kelak. Ayah memang diam, namun sementara berpikir tentang
uang kost, biaya buku juga ongkos transportasi anaknya. Ayah memang lelaki yang
tak biasa. Beliau luar biasa. Menyayangi dalam diam.
Waktu kita sakit juga. Siapa yang
dirasa paling perhatian? Jawabnya pasti ibu. Ibu yang terlihat begitu repot ke
sana ke mari. Kekhawatiran tampak jelas dalam raut wajahnya. Bagaimana dengan
ayah? Sepertinya tenang-tenang saja. Walau sebetulnya kekhawatirannya persis
seperti ibu. Semalam ayah tidak tidur. Mendoakan agar anaknya lekas sembuh.
Sembari berpikir untuk berbuat apa saja bagi anaknya. Mencari-cari dokter
terbaik yang bisa menyembuhkan, berapapun biayanya. Demi kita anak tercinta,
uang tidak ada harganya. Ayah juga selalu ingin menjadi orang paling berarti
dan paling berharga dalam hidup anaknya.
Jadi impian tertinggi seorang lelaki
adalah menjadi ayah terbaik untuk anak-anaknya nanti. Tirulah perilaku beliau
terhadap kita sekarang. Dan berkomitmenlah, untuk berbuat yang lebih darinya. (MS)
Posting Komentar untuk "Ayah Lelaki tak biasa"