Guru, Digugu dan Ditiru
Kalau ada ayah, yang tidak dianggap
guru terbaik oleh anak-anaknya, maka dipertanyakan ke-ayah-annya. Seorang ayah
harus layak digugu (dipercayai) dan ditiru. Bersama ibu, mereka berdua menjadi
guru perdana dalam kehidupan. Kalau ayah adalah guru, maka rumah adalah
sekolahnya. Inilah yang saya rasakan. Ayah telah berhasil menjadi guru untuk
keluarga. Dan rumah pun kami rasakan sebagai tempat pembelajaran, berbagai
bekal kehidupan. Mulai dari kejujuran, kedisiplinan, kebersamaan sampai teknik
menyelesaikan masalah. Bersama ayah, saya mempelajari segalanya.
Ayah adalah guru kehidupanku. Walau
dari segi pendidikan formal, beliau tergolong rendah. Putus sekolah di kelas 2
SD. Jadi tak ada ijasah yang dimiliki. Hidup berbekal kerja keras dan
kejujuran. Makanya, lebih banyak beliau mengajar kami anak-anaknya, dengan
perbuatan. Bukan sekadar kata-kata.
Guru
tentang Kedisiplinan dan Kejujuran
Salah satu aktivitas yang saya senangi saat bersama ayahku adalah menggali tentang kehidupannya, saya tidak tau apakah beliau sadar atau tidak. Yang jelas dari cerita yang telah terkisah, jelas
sudah ayah pernah lama di perusahaan tambang. Kita tahu sendiri, begitu
disipilnnya bekerja di sektor pertambangan. Apalagi yang miliki perusahaan
adalah asing. Setiap detik adalah uang. Lalai sedikit, terlambat sejenak,
ancaman pemecatan ada di depan mata. Inilah yang ayah turunkan kepada
anak-anaknya. Disiplin itu harga mati.
Sering sekali saya memperhatikan ayah,
bila hendak berangkat kerja. Semua peralatan kerjanya diperiksa lagi baik-baik.
Berkali-kali, teliti sekali. Sehingga jarang ada barang ayah yang tertinggal.
Setelah memastikan semuanya siap, lalu duduk di halte atau depan rumah, Memanti
jemputan. Untuk soal ini, ayah lagi-lagi membuktikan kedisiplinannya. Sangat
jarang beliau ditinggal jemputan. Kalaupun terlambat, biasanya karena kondisi
yang genting tak direncana. Semisal tiba-tiba sakit perut, yang memaksanya
harus ke belakang dan akhirnya ditinggal jemputan. Kalau karena alasan
bermalas-malasan lalu terlambat, ayah tidak pernah.
Guru terbaik tentang kedisiplinan,
dialah ayah. Apalagi kalau urusan salat lima waktu. Oh jangan ditanya. Tidak
ada tawar-tawar. Hingga beliau tutup usia, tak pernah jemu-jemu mengingatkan
anaknya untuk salat. Terutama salat subuh. Suara beliau seperti masih
terngiang-ngiang di telinga. Suara penuh cinta, yang mengingatkan anaknya akan
sebuah kewajiban. Sujud pada sang pencipta. Panggilan yang khas, hanya ayah
seorang yang bisa. Mengapa khas? Kalau beliau mengajak anaknya salat, nama
anak-anaknya disebut lengkap-lengkap dan bercampur aksen Bugis. Terdengarnya
jadi lucu.
“Kartini…bangun Nak e…salat…!”
“Jumria…bangun Nak e…salat!”
“Aperiani…bangun Nak e…salat!” (Nama
sebetulnya Apriani. Kalau ayah yang melafadzkan, jadi “Aperiani”).
Dan bila giliranku tiba, namaku pun
disebut lengkap, “Muhammad
Saberang…bangun Nak e…salat!” Kalau istilah orang Makassar, inilah gaya
ucap yang okkots. Muhammad Sabran,
kalau di lidah kebanyakan orang Bugis, jadi “Muhammad Saberang”, pake “G” di
belakang. Panggilan-panggilan itu rutin berulang setiap memasuki waktu salat.
Begitu seringnya, kadang kami anak-anaknya, menjadikan itu sebagai bahan
candaan yang menggundang gelak tawa. Mengingat momen itu, kadang senyum-senyum
sendiri. Tapi semuanya sudah berlalu. Panggilan-panggilan lucu kepunyaan ayah,
tak akan pernah terulang lagi. Semua tinggal kenangan.
Kalau ayah bertanya, “Sudah salat
Nak?” Terkadang kami menjawabnya nakal, “Sudah Pak.” Padahal sebenarnya belum.
Kekata bohong terpaksa digunakan, demi bisa tidur lima menit lagi. Kalau soal
mendeteksi kebohongan, ayah juga ahlinya. Mengetahui anaknya berbohong, ayah
kadang memijat-mijat pundak kami. Agar ngatuk segera terusir dan anaknya lekas
salat subuh. Kebiasaan ini berlangsung sedari kami kecil, hingga dewasa. Bahkan
sampai saya kuliah pun, masih sering merasakannya jika ayah bersama kami.
Semakin indah terasa, saat semua sudah terbangun, berwudhu dan salat
berjama’ah. Ayah tampil sebagai imam dan kami makmumnya. Ini yang namanya,
indah dalam kebersamaan.
Biasanya saya ingin berlomba bangun
subuh dengan ayah. Agar tidak melulu dibangunkan. Seklai-kali ingin rasanya
membangunkan dan memijat-mijat pundak ayah. Hanya saja, selalu kalah. Ayah
lebih dulu terbangun dan menunaikan kebiasaannya. Memanggil belahan jiwanya,
dengan panggilan kasih…
“Muhammad Saberang…bangun Nak e…salat!”
Guru tentang Kebersamaan dan Kesederhanaan
Ada yang bilang, semua masalah akan
selesai di meja makan. Ini ada benarnya. Coba lihat Jokowi, Gubernur DKI
Jakarta. Terkenal sekali dengan lobi meja makannya. Rakyat diajak makan
bersama, lalu dibujuk. Dan terbukti berhasil. Kebiasaan ini juga saya temukan
pada diri ayah. Meja makan, tak sekadar tempat makan. Dari sana, kami dididik
tentang makna kebersamaan. Dan tempat paling ampuh menyelesaikan segala rupa
masalah.
Ayah punya kebiasaan, tidak akan
memulai santapan jika anak-anaknya belum lengkap. Makanya kalau ada yang
kurang, kami anak-anaknya saling mencari. Memanggil satu dengan yang lain. ya,
karna itu, kalau ada yang tak lengkap, alamat makan tidak akan dimulai. Berarti
perut keroncongan akan lebih lama. Kecuali ada anggota keluarga yang pergi jauh
dan tak mungkin untuk dipanggil. Jadi kenikmatan makan itu, bukanlah tergantung
menu apa yang disantap. Tapi dengan siapa kita bersantap. Boleh jadi menunya,
biasa-biasa saja. Tidak terlalu istimewa. Namun yang menemani adalah belahan
jiwa tercinta. Maka makan pun pasti terasa nikmat. Dan ayah, memang tidak macam-macam
soal menu makan. Pribadinya sungguh sederhana.
Gaya hidup sederhana dan bersahaja.
Inilah satu nilai yang juga berusaha ayah tanamkan kepada kami. Dicontohkan,
tidak sekadar dilisankan. Kalau ayah mau, sebenarnya bisa saja gaya hidupnya,
meniru rekan-rekan kerjanya. Terbukti dari gayanya berpakaian. Tidak perlu yang
baru dan mahal. Atas sudah pantas, itu cukup. Saya harus akui, ayah begitu
teliti merawat pakaiaannya. Pakaian yang dikenakan, rata-rata berusia panjang.
Sampai betul-betul tidak layak pakai,baru disingkirkan. Pernah satu waktu ada
keisengan yang diperbuat anak-anaknya. Pakaian beliau kami sembunyikan.
Berharap dengan begitu, ayah mencari pakaian pengganti. Pakaian baru. Ternyata,
beliau mencari sampai dapat. Dan memakainya lagi. Dan kami pun kalah lagi.
Susah payahnya beliau mendidik anak,
bisa dirasakan manis buahnya. Anak-anaknya telah membuat ayah bangga. Semoga juga saya. Kalau boleh dikata,
anak keempat yang sering membuatnya bangga, Kakakku Kartini. Prestasi
akademiknya memang cemerlang. Sewaktu SD, selalu jadi yang terbaik. Sampai di
SMP, Kartini pernah menjadi satu-satunya warga Indonesia yang bersaing dengan
warga keturunan Cina. Dari peringkat satu sampai lima, Cina semua. Kecuali yang
berdiri di posisi kedua. Di sana ada Kartini. Waktu di SMK, selalu ada
diperingkat dua, sampai lulusnya. Ketika kuliah, kecemerlangan prestasinya
tiada memudar. Kartini menjadi lulusan terbaik di UNM, Fakultas Ekonomi. Dan
setelah lulus, langsung bekerja menjadi PNS di SMK tempatnya menuntut ilmu. Inilah buah, dari didikan ayah selama ini. Ah,
begitulah pandangan seorang anak. Hanya melihat saat itu saja. Kalau
dibangunkan salat, dianggap sebagai penganggu kenyeyakan tidur. Ternyata
pengaruhnya baru terasa di esok hari. Ketika kami semua telah dewasa.
Ayah, terima kasih, atas segalanya
yang kau beri untuk kami anak-anakmu.
Guru
tentang Kebijaksanaan
Ada orang tua yang menganggap anaknya
hanya segumpal daging berjalan. Tidak punya hak untuk menentukan nasib sendiri.
Menilai anaknya sebagai makhluk yang tak bisa apa-apa. Mau ini harus
dipilihkan. Ingin itu, harus dipilihkan. Jadilah anak punya karakter sebagai
pembebek. Tidak berani mengambil keputusan sendiri. Selalu merasa terpenjara
dengan perintah-perintah ayah.
Bersyukur padamu ya Allah. Engkau
telah karunia ayah yang tidak begitu. Engkau berikan ayah, yang sungguh bijak.
Memberikan kebebasan kepada anak-anaknya. Silakan pilih yang terbaik. Kalau
terlihat salah, barulah diluruskan. Mulai dari memilih sekolah, aktivitas di
luar sekolah, kajian-kajian pemikiran yang kami ikuti, semuanya bebas.
Konsekuensi dari kebebasan memilih adalah berani menanggung risiko. Istilahnya,
risiko ditanggung penumpang.
Didikan ini membuat saya bisa tumbuh
dengan percaya diri. Berani mengambil keputusan. Kemudian membuktikan kalau
pilihan itu tepat dan yang terbaik. Harus saya akui, beliau telah berhasil
menjadi guru. Sosok yang layak digugu dan ditiru. Segan saat berhadapan
dengannya. Pun waktu berada di belakangnya.
“Barang
siapa yang berbuat baik kepada orang tuanya, bahagialah baginya dan Allah akan
menambah umurnya.”(HR. Bukhari)
(MS)
Hormatku
Muhammad Sabranπ
Silahkan lihat juga Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini πππwww.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
Silahkan lihat juga Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini πππwww.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
Jangan Lupa tinggalkan jejak dengan memberikan Komentar
ππDan Like, Follow, Subscribe dan Join Akun SOSMED Sayaππ
Like : Fans Page FB Muhammad Sabran
Follow : IG @muhammad_sabran
Subscribe : Youtube Coach Sabran
Join : Telegram Coach Sabran
Posting Komentar untuk "Guru, Digugu dan Ditiru"