Di Ujung Amarah, Ada Mutiara
Meskipun ayah adalah guru
kedisiplinan, guru kebijaksanaa dan pengajar kebersamaan, beliau tetaplah
manusia biasa. Orang tua normal yang juga bisa marah. Bahasa cinta tidak
selamanya dengan kata-kata mesra. Kadang cinta itu dibahasakan dengan cemberut
wajah. Bentakan kasar. Juga ledakan amarah. Marah itu fitrah. Kalau kata satu
lagu dangdut: Semut pun ‘kan marah bila
terlalu, sakit begini. Inilah bentuk ekspresi cinta yang lain. Sayangnya,
kita sebagai anak, kadang salah memaknai. Mengira, ayah tak sayang lagi. Ah,
ayah mana yang tega menghapus cintanya kepada anaknya? Tidak ada. Kecuali ayah
yang sudah tidak memiliki iman dalam dirinya.
Dulu waktu sekolah, ada pepatah
begini: Di ujung rotan ada emas. Guru-guru dulu, kalau masuk kelas selalu bawa
rotan. Gunanya bukan untuk mengajarkan anak didiknya membuat kerajinan dari
anyaman rotan. Tapi untuk dipukulkan bila ada murid yang terlewat bandel. Sampai-sampai,
kata rotan, menjadi barang yang keramat,angker dan menakukan untuk murid
sekolah dulu. Ingin muridnya selalu berpikir positif, tak ada guru yang benci
muridnya. Kalau ada pukulan, itu namanya pukulan kasih sayang. Pukulan tanda
cinta. Maka sang guru pun berkata, “Di ujung rotan ada emas.”
Kalau kata pepatah, di ujung rotan ada
emas, maka saya memodifikasinya sedikit. Di ujung amarah ada mutiara. Saya
yakin, saat ayah marah, selalu ada mutiara di penghujung marahnya. Ada didikan
yang coba ditanamkan kepada anak-anaknya. Amarah ayah akan menyadarkan, kalau
kita sedang salah.
Kalau diingat-ingat, ayah hanya
beberapa kali marah selama hidup. Tidak sulit mendeteksi ayah sedang marah atau
marah. Kalau ayah marah, selalu saja dia bilang, “Saya marah.” Dan benar beliau
tidak becanda, kalau sudah mengatakan itu, benar-benar marahlah ayah. Marahnya
memang hanya sekali-kali, tapi begitu membekas dalam benak anak-anaknya. Salah
satunya yang tak bisa lepas dari ingatan adalah apa yang terjadi kepada kakakku
Kurnia.
Waktu itu Kurnia masih duduk di kelas
2 SD. Ada tingkahnya yang mengundang amarah ayah. Waktu itu ayah menyuruhnya
pergi mengaji. Ini seruan untuk menuju surga sebenarnya. Dasar Kurnia, kakakku
itu terus saja membandel. Mendengar tapi tak mau melaksanakan. Berkali-kali
ayah menyuruhnya. Tak kunjung juga ditunaikan. Sampai memuncaklah amarah ayah.
Ayah mengambil seutas tali. Lalu membawa Kurnia ke sebuah pohon dekat rumah.
Lantas mengikatnya di pohon itu. Ibu yang melihat, tak berani berbuat apa-apa.
Ayah sedang benar-benar marah. Dan Kurnia, memang salah. Biarlah, dia marasakan
upah dari tidak mendengarkan nasehat orang tua. Di ujung amarah ada mutiara.
Itu memang benar adanya. Selepas kejadian itu, Kurnia menjadi rajin membaca
Al-Quran.
Itu kisah Kurnia dan amarah ayah. Ada
lagi kisah yang lain. kalau ini terjadi pada kakak keduaku, Jumria. Waktu itu
kami tinggal di Mangkutana. Dekat dengan Bioskop Topan dan Panel. Masa itu
bioskop masih menjadi primadona hiburan yang menarik. Kurnia kelas 4 SD dan
Jumria kelas 3 SD. Dua bersaudara ini sangat akrab dan kompak. Sampai berbuat
salah pun, mereka kompak. Berdua, mereka biasa menjadi “penonton gelap” di
bioskop. Penonton yang menyelinap tanpa bayar karcis. Tekniknya sederhana
sekali. Mereka pura-pura menjadi anak dari seorang penonton dewasa. Dipegangnya
tangan orang dewasa itu dan akhinrya berhasil. Mereka lolos untuk masuk.
Hingga satu malam, kedua kakak beradik
nan kompak itu diingatkan, untuk tidak pergi menonton lagi. Karena selalu
pulang larut malam. Kalau sudah asyik, memang akan lupa waktu. Jumrialah yang
kena getahnya. Mungkin lantaran film yang terlalu bagus, sampai pulang terlalu
larut malam. Ayah naik pitam. Ayah marah. Akhirnya seutas kabel pun bicara.
Ayah mencambuk Jumria. Sakit memang. Tapi lagi-lagi,di ujung amarah ada
mutiara. Cambukan itu membuat Jumria sadar dan kapok. Pasca malam itu, tak ada
lagi acara nonton bioskop. Lebih baik tak menonton film kesukaan, daripada
merasa pedihnya cambukan kabel.
Kalau kakakku yang keempat, saya dan
adikku, tidak pernah dipukuli. Kami selamat. Tapi kalau soal dimarahi, saya dan
adikku pernah mengalami. Mengenang kala kami berkunjung ke tempat ayah di Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. Kampus libur, bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Ini kesempatan, untuk menjalani puasa bersama ayah. Setelah Idul Fitri usai,
kami kembali ke Makassar. Ayah memberikan kartu ATM-nya kepada kami. Luar biasa
memang kasih sayang beliau. Kartu ATM diserahkan, penuh keikhlasan. Katanya
supaya anaknya tidak repot-repot lagi kalau butuh uang. Dan ayah juga mudah
bila ingin mengirimkan uang.
Namanya manusia, pasti tidak luput
dari khilaf. Tapi adalah hak ayah juga untuk marah, jika merasa amanahnya tidak
dijaga baik-baik. Sesampai di Makassar, maksud hati ingin mengambil uang. Apa daya
salah memasukkan pin sampai tiga kali. Singkat kisah, ATM pun terblokir. Saat
itu saya menelpon ayah. Tidak disangka-sangka, ternyata beliau sangat marah.
Terdengar jelas dari suaranya yang meledak-ledak. Baru kali ini kami mendengar
ayah semarah itu. Meminta maaf, jalan terbaik yang kami lakukan. Mengaku salah,
bukanlah sesuatu yang hina. Ayah, pribadinya memang bijak. Tidak sulit
memaafkan kesalahan orang, apalagi bila itu adalah anaknya sendiri. Ayah, padamu kami salut!
Teringat satu cerita, bukti bahwa
ujung amarah itu ada mutiara. Kisah yang berlaku pada Arun Ghandi. Arun adalah
cucu Pendiri lembaga M.K. Ghandi yaitu Matha Ghandi. Semuanya terjadi ketika
Arun masih 16 tahun. Tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan
kakeknya. Tempatnya sungguh asri, ditengah kebun tebu. Jaraknya 18 mil di luar
Kota Durban, Afrika Selatan. Ini adalah daerah pedalaman. Jauh dari keramaian
kota. Tetangga pun jarang. Apalagi hiburan. Saat-saat paling bahagia adalah
ketika mengunjungi kota. Untuk mendatangi teman dan nonton bioskop.
Satu hari, Arun diminta ayahnya untuk
mengantarkannya ke kota. Menghadiri konferensi sehari penuh. alangkah riang
hati Arun. Ada kesempatan untuk keluar dari kesunyian desa, walau hanya sehari.
Ibu menitip beberapa pesanan belanjaan. Lalu ayah meminta Arun untuk membawa
mobil ke bengkel. “Ayah tunggu di sini jam 5 sore. Lalu kita pulang bersama.”
Pesan ayah kepada Arun, sejenak sebelum berpisah.
Pesanan ibu, telah Arun beli. Mobil
pun sudah masuk bengkel. Segera Arun menuju bioskop. Menikmati dua permainan
John Wayne yang sangat memikat hatinya. Sampai Arun lupa waktu. Ketika melihat
jam, waktu sudah berada di pukul setengah enam. Padahal janji dengan ayahnya,
pukul lima. Arun terkejut. Lalu bergegas ke bengkel mengambil mobil. “Mengapa
kamu terlambat?” Satu pertanyaan ayah yang sulit dijawab. Sebenarnya mudah,
jika Arun berkata jujur. Tidak, Arun enggan melakukannya. Terpaksa yang keluar
adalah kebohongan. Katanya mobilnya belum siap, sehingga harus menunggu.
Makanya dia terlambat tiba. Berbohong itu seperti bau bangkai. Walau
ditutup-tutupi, akan tetap tercium juga. Sangkin baunya. Ternyata ayah telah
menelepon bengkel. Dan tahu kalau perbaikan mobilnya tidak terlambat. Sekaligus
ayah Arun tahu,kalau anaknya sementara berbohong.
“Ada sesuatu yang salah dalam
membesarkan kamu,” kata Arun, “kamu tidak memiliki keberanian untuk berkata
jujur kepada ayah.” Wajah Arun mulai memerah. Malu, kedok kebohongannya
ketahuan. “Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang dengan berjalan
kaki. Berjalan sejauh 18 mil dan merenungi kesalahan ayah yang gagal mendidik
anaknya.” Awalnya Arun mengira, itu hanya ancaman. Setelah ayah berdiri dan
melangkahkan kaki, barulah Arun yakin. Ayahnya tidak main-main. Berjalan sejuah
18 mil, dengan suasana yang mulai gelap. Dan jalan pun tak rata. Sementara
Arun, mengendarai mobilnya pelan-pelan di belakang ayahnya. Arun tidak tega
meninggalkan ayah. Selama lima setengah jam, arun mengiringi perjalanan
ayahnya. Arun telah membuat ayahnya menderita, akibat kesalahan bodoh yang
telah diperbuatnya. Sejak itu, Arun berkomitmen tak akan lagi berbohong.
Dosanya dobel. Dosa berbohong dan dosa membuat ayah menderita. Ah, andai saja
tadi Arun berkata jujur dan memohon maaf, pasti tidak begini jadinya. Arun menyesal.
Mengenang kejadian itu Arun berkata,
“Seringkali saya berpikir mengenai peristiwa itu dan merasa heran. Seandainya
ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya
akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai kesalahan tanpa kekerasan? Saya rasa
tidak. saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi.
Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang luar biasa berhikmah.
Saya sadar akan semua makna nasehat ayah, baru kemarin. Setelah diri ini berusia
dewasa.”
Ayah memang manusia hebat. Menyalahkan
dirinya, jika ada yang salah dalam diri anaknya. Menanggap, kalau dirinyalah
yang telah gagal mendidik. Menghukum tanpa kekerasan, tapi tetap mampu
menanamkan nilai luhur dalam diri anaknya. Meskipun, menggunakan “sedikit”
kekerasan juga tidak mengapa. Itu sah-sah saja. Bukankah Rasulullah
memerintahkan untuk memukul anak kita, saat sudah berumur sepuluh tahun tapi
enggan salat? Inilah yang namanya pukulan kasih sayang. Pukulan yang
diperintahkan oleh Rasulullah. Pukulan yang pernah mendera Kurnia dan Jumria.
Amarah yang pernah dilemparkan kepadaku dan adikku saat salah memasukkan kode
pin ATM. Terlihat amarah, tapi sejatinya itu cinta. Ingat, di ujung amarah, ada
mutiara. (MS)
Posting Komentar untuk "Di Ujung Amarah, Ada Mutiara"