Ayah : Sebuah Parade Kisah
Pada tulisanku kali ini, ijinkan saya untuk
bercerita sedikit tentang ayahku. Tiap anak, pasti punya cerita sendiri-sendiri
tentang ayahnya. Banyak inspirasi hidup yang bisa saya ambil dari beliau. Pada tulisan-tulisan selanjutnya saya akan berbagi. Semoga bisa menginspirasi para
anak, untuk lebih cinta kepada ayahnya. Dan buat para ayah jadilah inspirasi
buat generasi anda.
"Tiap Orang punya cerita, tentang orang yang dia cintai. Ayah salah satunya"
Ayah adalah anak sulung. Anak perdana
yang ada dalam keluarga. Menanti kelahiran anak pertama, sejuta perasaan
bercampur menjadi satu. Ada luapan bahagia, sebentar lagi akan punya anak. Dan
sempurnalah hidup sebagai lelaki, karena telah menjadi ayah. Muncul juga
debar-debar ketakutan. Ini anak pertama. Belum punya pengalaman sebelumnya.
Bagaimana bila istri tiba-tiba berasa ingin melahirkan? Ke bidan mana hendak
diantar? Bagaimana merawat anak setelah melahirkan nanti? Ah, pokoknya sejuta
khawatir berseliweran dalam angan-angan karena hal itu telah kujalani. Itulah
spesialnya memanti anak pertama. Saya yakin, perasaan serupa sempat hadir dalam
benak kakek dan nenek, ketika menanti kelahiran ayahku.
Tepat tanggal 15 Desember 1952 ayah
lahir. Tepatnya di Desa Belawa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Terlahir
bukan sebagai anak orang kaya. Tapi dari keluarga yang sederhana. Ayah dan
ibunya seorang petani. Kehidupannya memang tak mudah. Inilah yang mendidik ayah
untuk menjadi pekerja keras. Sewaktu kecil ayah biasa disapa Ambo Asse. Tapi
bila boleh memilih, ayah lebih senang dipanggil Lasse. Itulah nama beliau yang
saya ingat, sampai akhir hayatnya.
Bakti kepada orang tua, sudah beliau
tunjukkan sedari belia. Kalau musim panen tiba, beliau turut bekerja. Ikut
memanen dan menjemur padi. Ini menyebabkan ayah berbeda dengan anak usianya.
Saat sebagian anak menghabiskan waktu untuk bermain, ayah justru lebih senang
ada di sawah. Demi satu impian, meraih gelar anak soleh. Siapa yang menanam,
dia yang akan memanen. Siapa yang menebar benih kebaikan, tunggulah, kelak akan
ada balasan. Cepat atau lambat. Kedua orang tua ayah, merasa perlu untuk
memenuhi hak anaknya. Khususnya dalam perkara menuntut ilmu. Tekun sekali ayah
bersekolah. Apalagi didukung oleh kedua orang tua. Terutama ibu.
Sampai pada usia 6 tahun, ada kehendak
Allah yang tak bisa ditepis. Di usia yang begitu belia, ayah sudah harus
kehilangan seorang tercinta. Ibunya (nenekku) dipanggil Allah. Sahabat, bisa
dibayangkan, bagaimana galaunya hati. Saat usia masih terlalu muda, saat-saat
sangat membutuhkan kasih sayang dan belaian cinta, ibu pergi tinggalkan dunia.
Terpukul sekali pasti. Apalah daya. Namanya maut adalah kehendak Allah. Tak ada
makhluk seperkasa apapun, yang bisa memundurkan atau memajukannya walau
sedetik.
Sedih ditinggal pergi ibunda, itu
wajar. Tapi berlarut-lartu dalam kesedihan, tiada gunanya. Ayah masih harus
menatap masa depan yang masih panjang. Walau tanpa ibu, ayah tetap bertahan
pada watak lamanya. Rajin belajar dan begitu antusias untuk urusan menuntut
ilmu. Beliau selalu optimis, masa depan nan cerah ada dalam genggamannya.
Bagi ayah, belajar tak selamanya di
bangku sekolah. Di mana saja bisa belajar. Siapa saja adalah guru. Selama dia
memang dapat dipercaya. Ayah mendapatkan ilmu dari bertanya kepada orang yang
lebih tua. Atau siapa saja. Yang jelas, punya ilmu yang bermanfaat. Untuk
sekolah formal, ayah bersekolah di SD Muhammadiyah Belawa. Cita-cita ayah
begitu tinggi. Beliau ingin menjadi insinyur. Ya, begitulah cita-cita orang tua
dulu. Kalau tidak insinyur ya dokter. Seolah-olah hanya dua profesi itu yang
bergengsi. Tak apalah, yang jelas aku telah dibuatnya bangga. Sebab punya ayah
yang bercita-cita tinggi.
Apa hendak dikata. Maksud hati memeluk
gunung, apa daya tangan tak sampai. Impian untuk menjadi insinyur, sirna di
tengah jalan. Manisnya bangku sekolah, hanya beliau rasakan sampai kelas 2 SD
saja. Bukan karena malas. Juga, bukan perkara nilai yang tidak melampaui
standar. Jaman dulu, perkara nilai bisa diatur. Yang penting si anak mau dan
orang tua restu. Beres semuanya. Nah, syarat yang terakhir ini, yang tidak ayah
penuhi. Restu orang tua, tidak beliau dapat.
Ceritanya begini. Semua berawal,
ketika ayah beliau memutuskan untuk menikah lagi. Maka hadirlah pengganti ibu.
Orang bilang, ibu tiri. Ternyata ibu tiri, tak sebaik ibu kandung dulu. Ibu
tirinya termasuk yang anti dengan sekolah. “Buat apa sekolah? Apa pentingnya
itu sekolah? Lebih baik kamu bantu ayah dan ibu mengurus sawah. Itu lebih
menghasilkan. Jemur padi, itu lebih jelas hasilnya daripada pergi sekolah.”
Kurang lebih, begitu bentakan ibu tirinya. Sembari melemparkan bukunya. Sakit
hati memang. Kecewa pasti. Ah, apalah daya yang bisa diperbuat seorang anak
kecil kelas 2 SD. Ayah hanya bisa turut, apa titah ibu tiri. Memang tak semua
ibu tiri itu jahat. Ada juga yang lembut hati. Tapi untuk ayah, Allah
menakdirkan untuk beribu tiri yang kurang paham pentingnya pendidikan. Ayah
yakin, pasti dibalik semua ini ada hikmahnya. Jalani dengan sabar itu kuncinya.
Tidak perlu meratapi nasih. Tapi berpikirlah untuk berbuat yang lebih baik, di
kemudian hari.
Setelah saya dewasa kami selalu di ajak oleh ayah untuk bersilaturahmi dengan nenek tanpa ada rasa dendam sedikitpun. Pelajaran yang sangat berarti buatku.Jiwa Pemaaf...
Setelah saya dewasa kami selalu di ajak oleh ayah untuk bersilaturahmi dengan nenek tanpa ada rasa dendam sedikitpun. Pelajaran yang sangat berarti buatku.Jiwa Pemaaf...
Demi
Cinta, Keringat Diperas, Tulang Dibanting
Dari cerita-cerita yang ada, saya
berkesimpulan ayah adalah pekerja keras. Sebenarnya bukan hanya ayah saya. Saya
yakin, semua laki-laki yang sadar akan kewajibannya sebagai seorang ayah adalah
pekerja keras. Termasuk yang sekarang belum menjadi ayah, yakinlah kelak anda
akan menjadi seorang pekerja keras. Waktu membujang, mungkin malas-malasan.
Tunggu saja, ketika sudah punya istri apalagi anak, kita akan mejelma menjadi
pekerja keras. Entah dari mana datangnya, sel-sel otak bekerja luar biasa
memunculkan ide-ide kreatif. Ini namanya the power of kepepet he..he..
Kita kembali ke sosok ayah saya sebagai
pekerja keras. Saat beliau masih ada, saya sering bertanya-tanya tentang
sejarah masa lalunya. Saat usianya 17 tahun, ayah sudah memilih untuk merantau.
Memang seharusnya begitu. Bila ingin mendapatkan tantangan hidup dan
kawan-kawan baru, merantaulah. Peluru tak ada gunanya bila dia hanya disimpan.
Baru berguna bila ditembakkan mencari sasaran. Kurang lebih, begitulah
merantau. Jangan harap mendapat tantangan dan pengalaman hidup yang baru, bila
hanya berdiam di dalam rumah.
Usia ayah 17 tahun, artinya waktu itu
tahun 1969. Beliau memberanikan diri untuk merantau ke kota besar. Waktu itu
namanya Ujung Pandang (sekarang Makassar). Ada harapan besar, di tempat
tujuannya nanti hidupnya akan lebih baik. Untuk menuju ke sana, saat itu tidak
mudah. Jangan bayangkan dengan kondisi sekarang. Bayangkan suasananya seperti
tahun 1969. Jalan masih belum mulus. Kendaraan pun hanya satu dua. Tantangan
memang besar. Impiannya untuk sukses, jauh lebih besar. Langkah berani beliau
ambil. Pergilah ke Ujung Pandang. Tak bermodalkan apa-apa. Kecuali bismillah
dan nekad.
Apa yang dikhawatirkan, satu-satu
terjadi. Sesampainya di Ujung Pandang, ayah tak punya tempat tinggal. Syukrlah
ada bibinya, saudara almarhum ibu. Namanya Lamendeng, biasa disapa Iyye
Mendeng. Satu tantangan bisa dihadapi. Sekarang sudah ada tempat untuk bernaung
dari terik matahari dan rerintik hujan. Semuanya belum berakhir. Ayah tak mungkin
menjadi benalu. Menumpang dan membuat rugi orang yang ditumpangi. Beliau harus
mandiri. Tidak mungkin terus mengharapkan belas kasih Iyye Mendeng.
Seperti yang sudah kita bahas tadi,
orang kalau kepepet pasti jadi kreatif. The power of kepepet. Ayah menjadi
pencuci mobil angkutan antar kota yang cukup terkenal di Ujung Pandang masa
itu. Sampai sekarang pun perusahaan angkutan ini masih ada. Dan termasuk salah
satu yang terbesar. Bila sahabat pernah berjalan-jalan di Makassar dan melihat
ada bus PIPOSS, itulah tempat kerja ayah pertama kalinya. Pipposs itu singkatan
dari “Pada Idi Pada Elo Sipatuo Sipatokkong”. Namanya pekerja keras, tak ada
kata gengsi. Ditambah lagi kalau sudah kepepet. Apapun dikerjakan, selama itu
halal. Perusahaan busnya waktu itu berlokasi di Mariso salah satu tempat di
bilangan Cendrawasih. Ada sekira satu tahun menjadi pencuci bus.
Mungkin karena karakternya yang memang
pekerja keras, giat dan ulet. Ayah naik satu tingkat. Tidak lagi sebagai
pencuci bus. Di tahun kedua di Pipposs, beliau menjadi karnet. Kondektur bahasa
umumnya. Ini namanya prestasi. Dulu pencuci sekarang kondektur. Dan insya Allah
ini adalah salah satu penciri orang beruntung.
Dari beliau saya belajar, kalau mau
naik pangkat, tidak perlu dengan cara-cara curang. Sogok sana, sogok sini.
Tunjukkan saja kapasitas dan kemampuan diri. Bahwa kita pantas untuk menduduki
posisi yang lebih tinggi. Ya memantaskan diri Itu sudah cukup. Bila dulu
bekerja sebagai pencuci mobil, beliau harus berteman dengan dinginnya air.
Sekarang setelah naik pangkat, tantangan bukan justru berkurang. Malah
bertambah. Sewajarnya memang begitu. Tengoklah pohon. Bila semakin tinggi
bertumbuh, pasti akan semakin kencang pula angin yang menggoyang. Kalau tak mau
digoyang angin yang kencang, tidak usah tumbuh-tumbuh. Namun ini karakternya
para pecundang, takut pada tantangan. Menjadi kondektur, ayah harus begadang.
Mengatur dan mengangkat barang penumpang. Kadang yang diangkat tiga kali lipat
dari bobot tubuhnya. Dan itu bukan satu atau dua hari. Tapi berlangsung sampai
tiga tahun, terus menerus.
Sopir,
Sopir dan Sopir
Bekerja keraslah. Maka Allah akan
menunjukkan jalan. Masuk tahun 1973, ayah naik pangkat lagi. Posisi kondektur
ditinggalkannya. Sekarang menjadi sopir bantu. Dan di sinilah Allah berkehendak
mempertemukan dengan tulang rusuknya yang hilang. Wanita dambaan hati, yang
sekarang menjadi ibuku. Kalau sudah sampai di bagian pertemuan antara laki-laki
dan prempuan, selalu jadi bahan cerita yang lezat. Ya, begitulah cinta. Tema
cerita paling purba, sejak nabi Adam kisah cinta sudah ada. Walaupun kisah
paling purba, tapi paling digemari pula sampai sekarang. Bahkan mungkin sampai
kiamat kelak.
Dari mana datangnya cinta, dari mata
turun ke hati. Ibu adalah wanita yang ternyata sering mencuri-curi pandangan
ayah di terminal Kota Palopo. Beliau adalah pekerja keras juga, sama dengan
ayah. Kan hukumnya memang begitu. Jodoh yang akan datang, tidak jauh-jauh dari
karakter yang kita punya. Jadi tidak sulit untuk mendapatkan jodoh yang baik.
Caranya, perbaikilah diri. Mau dapat jodoh yang soleh? Ayo, solehkan diri kita
dulu.
Wanita yang sering dilirik ayah di
terminal adalah sosok yang ulet. Di usianya yang 18 tahun, saat hampir
menyelesaikan pndidikannya di madrasah, dia pun bekerja. Kerjanya sebagai
penjual “sokko pipi”. Ayah dan penjual sokko pipi nan ayu jelita itupun
berkenalan. Kisahnya mengalir begitu cepat. Hingga tepatnya 27 Mei 1973, pukul
11.00 sepasang muda-mudi melangsungkan akad nikah. Ini nikah yang murah meriah
bagi ukuran zaman saya, tapi saya yakin itu termasuk hal yang luar biasa di
Tahun 1973. Mas kawinnya hanya Rp. 100 ribu saja. Murah sekali, untuk ukuran
orang Makassar yang terkenal mahal harganya. Usia ayah saat menikah masih
tergolong muda, 21 tahun.
Soal rejeki, memang tidak bisa
dihitung dengan rumus matematika. Rejeki punya rumus sendiri. Dan hanya Allah
Yang Tahu. Setelah menikah, rejeki ayah mengalir deras. Walau masih sebagai
sopir pembantu, ayah sering dipercayakan untuk membawa mobil ke luar daerah.
Mulai dari Bulukumba, Majene, Palopo, Tana Toraja sampai ke Sorowako. Jadi
jangan heran, kalau kemampuan berbahasa ayah “di atas rata-rata”. Hampir semua
bahasa daerah yang ada di Sulawesi Selatan, beliau kuasai. Ini buah dari
kebiasaannya mengembara. Kalau urusan pergaulan semua orang beliau ladeni.
Tidak pandang suku dan agama. Siapa saja, mari berkenalan. Bagi ayah, menjadi
sopir Pipposs, lebih banyak sukanya daripada dukanya. Ayah menjadi sopir di
PIPOSS tidak selama beliau menjadi tukang cuci mobil. Karirnya sebagai sopir
hanya dua tahun saja.
Lama di Ujung Pandang. Rasa-rasanya
ingin mencari tantangan baru lagi. Bersama istri pujaan hatinya, sebuah
keputusan hidup penting beliau ambil. Pergi ke bagian paling utara Sulawesi
Selatan. Cita-citanya bukan untuk menjadi supir bus lagi. Tapi untuk menguji
peruntungan di salah satu perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia, bahkan
dunia. Perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan nikel. Luar biasa, dari
sopir bus ingin menjadi penambang nikel. Sebuah loncatan hidup yang dahsyat.
Keahlian ayah yang lihai mengendarai
bus, tidak ditinggalkan sepenuhnya. Dengan bermodal keahlian itu, beliau
melamar kerja di BOTEL, salah satu perusahaan kontraktor milik PT. INCO).
Beberapa waktu kemudian lalu diangkat menjadi karyawan tetap di PT. INCO. Ayah
dan Ibu tinggalnya di Wasponda. Menjadi karyawan di perusahaan tambang besar,
membawa perubahan yang signifikan dalam hidup ayah. Untuk perkara keuangan
keluarga, boleh dibilang semakin mapan.
Tak terasa satu tahun sudah mengabdi
di perusahaan tambang nikel itu. Rejeki mengalir lancar. Bukanlagi sekadar bus
yang bisa beliau kendarai. Alat-alat berat yang hanya ada ditambang, juga bisa
dikemudikannya. Kebahagiaan pun menjadi sempurna, saat Allah hadirkan Calon bayi
mungil setelah tiga tahun penantian. Walau sebelumnya ada nada-nada sumbang
dari orang luar. Awalnya ayah abaikan saja. Karena terlalu seringnya ayah biasa
marah. Tapi marahnya dipendam saja dalam hati. Apa gunanya menanggapi
suara-suara sumbang. Anjing mengonggong, kafilah terus belalu. Biarlah waktu
yang membuktikan. Dan memang terbukti, atas ijin Allah, ayah bisa punya
keturunan.
Tugas manusia hanya bedoa lalu
berusaha. Urusan mengabulkan itu adalah hak Allah. bukan ranah wewenang
manusia. Jelang mentari akan terbit, 28 April 1976 anak pertama lahir. Diberi
nama Kurnia. Sebagai perlambang kesyukuran kepada Allah, Sang Pencipta jiwa.
Sepertinya ayah dan ibu bukan penganut aliran KB (Keluarga Berencana). Beliau
berdua, penganut KB dalam makna Keluarga Besar. Hanya berselang setahun hadir
lagi anak kedua. Namanya Jumria, 14 September 1977. Tadinya rumah terasa sepi.
Sekarang jadi ramai. Ada tangisan Kurnia yang kadang dihapus oleh tertawaan
Jumria. Ramai dan indah sekali.
Selain pekerja keras, ayah sangat
berpegang teguh dengan idealismenya untuk selalu mencari rejeki yang halal. Dia
tidak ingin menyuapi anak dan istrinya dengan bara api neraka. Apa yang beliau
perjuangkan, membuahkan hasil. Berkat kerja kerasnya beberapa kali ayah mendapat
penghargaan dari PT. INCO tempatnya bekerja, sebagai karyawan teladan. Saya
mengetahui itu saat melihat sertifikat-sertifikat yang beliau punya. Namun
semua itu tidak membuatnya lantas besar kepala dan sombongkan diri. Ayah tetap
pada karakter aslinya. Sederhana, humoris, disiplin dan ramah. Juga tetap
pandai mengobati pasiennya he….he…ternyata ayah juga pandai mengobati.
Tiga tahun memiliki dua anak, Allah
kembali mengamanahkan anak lagi. Anak yang ketiga lahir di tahun 1980. Hanya
saja, anak ketiga tak lama melihat dunia. Waktu itu bidan datangnya terlambat.
Sehingga nyawa bayi mungil tak terselamatkan. Dia meninggal. Pergi tanpa
setitik pun dosa. Semoga kelak bisa menjadi pemulus jalan ayah dan ibu untuk
menggapai surga. Jasadnya yang mungil nan suci, dikebumikan di halaman belakang
rumah kami, di Wasponda waktu itu.
Allah selalu punya cara untuk
membahagiakan hamba-Nya. Mempergilirkan kesedihan dengan kegembiraan. Tak ada
manusia yang sedih terus-meterus. Pasti suatu masa akan datang bahagia. Tidak
begitu lama selang wafatnya anak ketiga, keluarga kami kembali dikaruniai bayi
kecil mungil. Lahirnya tepat saat peringatan hari kemerdekaan Indonesia, 17
Agustus 1981. Bayi perempuan yang diberi nama Kartini. Rumah sekarang penuh
dengan bidadari-bidadari lucu. Sekaligus menobatkan ayah sebagai orang paling
gagah di keluarga. Bagaimana tidak, hanya beliau yang lelaki. Ibu dan ketiga
anaknya, semua perempuan.
Ada keinginan ayah dan ibu yang
terpendam. Bukannya tidak mensyukuri karunia Allah. Tapi sah-sah saja bila
manusia punya impian. Kedua pasangan ini begitu ingin memiliki anak laki-laki.
Setelah tiga tahun penantian, apa yang dipinta jadi kenyataan. Tepat tanggal 10
Maret 1984, lahirlah bayi lelaki. Penantian yang dilalui dengan sabar dan
ikhtiar, terkabul sudah. Anak lelaki itu diberi nama Muhammad Sabran. Ya, orang
yang sekarang sementara berbagi dengan sidang sahabat sekalian. Orang yang
menulis buku ini. Sejak saat itu, ayah punya saingan untuk soal kegagahan.
Muhammad Sabran membuat ayah tak lagi menjadi yang tergagah.
Selang dua tahun, 15 April 1986 hadir
lagi anggota keluarga baru. Adikku yang diberi nama Apriani. Mungkin karena
lahirnya di bulan April. Dua anak saja cukup. Ini prinsip yang tak berlaku
untuk ibu dan ayah. Banyak anak, banyak rejeki, mungkin begitu prinsip beliau.
Tidak perlu takut untuk perkara rejeki. Mau
makan apa kalau banyak anak? Sementara penghasilan pas-pasan. Insya Allah
sudah ada jaminan rejeki dari Allah. Tinggal tugas kita, berusaha menjemput
rejeki dengan jalan yang halal. Buatlah di akhirat nanti Rasulullah bangga
dengan banyaknya bilangan umatnya. Ini didikan ayah yang tak akan pernah saya
lupa.
Setahun setelah kelahiran Apriani,
tahun 1987, kami hijrah menuju Mangkutana (samping Bioskop Tpoan). Ayah
memboyong istrinya dan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Kakak sulungku
masih SD. Kartini baru TK. Di sana kami tinggal untuk beberapa lama. Ayah
lagi-lagi menjadi sopir. Tampaknya, dunia sopir menyopir, sudah menjadi bagian
hidupnya yang tak bisa ditinggal. Kali ini beliau menjadi sopir di perusahaan
kelapa sawit. Di perusahaan kelapa sawit hanya bertahan setahun. Lalu pindah
lagi. Ayah memang laksana kutu lompat. Lompat dari satu perusahaan ke
perusahaan lain. Dengan begitu, beliau kenyang dengan pengalaman. Walaupun
kerjaannya tak jauh-jauh dari mobil dan sopir.
Masuk di gerbang tahun 1988, ayah
lagi-lagi menjadi sopir. Kali ini sopir truk 10 roda pengangkut kayu. Ternyata
ada yang ganjil dari pekerjaannya sekarang. Kayu yang diangkat ternyata ilegal.
Menyebabkan beliau harus menginjak pedal gas kuat-kuat, saat berkejar-kejaran
dengan pihak keamanan. Adegan saling berburu antara penjahat dan polisi yang
biasa ada di film-film, sering ayah lakoni. Inilah yang membuat hatinya dilema.
Untuk urusan mencari nafkah, kehalalan dan karidhaan Allah adalah yang utama.
Bagaimana Allah mau ridha, jika yang diangkutnya ternyata kayu ilegal, kayu
yang haram. Akhirnya keputusan berani kembali diambil. Ayah keluar meninggalkan
perusahaan kayu itu. Lebih baik kehilangan pekerjaan, dari pada kehilangan
keberkahan.
Tahun 1989, setelah keluar dari
perusahaan kayu, ayah masuk ke PERTAMINA. Ayah…ayah…lagi-lagi dunia yang
dipilihnya tidak jauh dari mobil dan sopir. Beliau menjadi pembawa mobil tangki
Pertamina. Hanya tidak lama bertahan. Pembayaran gaji yang diberikan kadang
terlambat. Juga banyak aktivitas yang beliau tidak suka di sana. Lagi-lagi
kebiasaan sebagai kutu lompat dijalani lagi. Melompat, mencari perkerjaan yang
lebih berkah.
Setelah beberapa perusahaan
disinggahi, tahun 1990 ayah memilih untuk berwirausaha. Punya usaha sendiri.
Lelah juga bekerja untuk perusahaan orang lain. Lebih baik punya sendiri.
Kelola sendiri. Hasilnya pun sepenuhnya dinikmati sendiri. Walaupun tidak ada
jaminan, hasil yang diperoleh akan lebih besar ketimbang waktu menjadi karyawan
dulu. Ayah memilih berwirausaha dengan menjadi penjual kayu. Menggunakan mobil
angkut merek Kijang warna merah. Impian beliau, kelak mobil Kijang itu akan dia
beli dari hasil penjualan kayu. Apa boleh buat, maksud hati memeluk gunung, apa
daya tangan tak sampai. Ayah jatuh sakit. Jualan kayu pun macet. Dan si Kijang
merah ditarik. Pupus sudah impian memiliki mobil.
Istri ada satu. Anak sudah empat.
Kelima orang spesial titipan Allah ini, selalu menjadi motivasi untuk ayah agar
terus bekerja. Mengembara mencari rejeki yang halal. Selepas sakit berlalu,
ayah berpikir untuk pergi merantau. Kali ini tujuannya tidak tanggung-tanggung.
Keluar Pulau Sulawesi targetnya. Kota yang dituju adalah Kotabaru, Kalimantan
Selatan. Keinginan itu muncul, karena ada selentingan kabar dari bapak Yamin. Di
sana ada lowongan kerja katanya. Pak Yamin adalah rekan ayah yang masih ada
pertalian saudara. Datang di Kotabaru, tak langsung bekerja. Ada jeda waktu
beberapa bulan, ayah menjadi pengangguran. Walaupun akhirnya, bekerja sesuai
yang telah dijanjikan. Kembali lagi seperti dulu-dulu. Jadi sopir. Tahun 1993
menjadi sopir alat berat di Pemancingan PT. Thisse Indonesia. Istri dan buah
hatinya dibawa ikut ke tanah rantau. Empat tahun berlalu, kami pindah ke tempat
baru. Cukup terpencil di desa kecil. Dari Kotabaru, butuh waktu empat jam
perjalanan menggunakan perahu kelotok. Sampai akhirnya tahun 2006, usia memaksa
ayah untuk pensiun.
Saya katakan “memaksa” untuk pensiun,
karena memang beliau masih ingin bekerja. Karena badannya sakit kalau hanya
diam tidak bekerja. Luar biasa memang. Kita yang muda-muda, kadang mengeluh
sakit karena bekerja. Dan lebih sering berpangku tangan, bermalas-malasan.
Bersyukur ada sedikit berkah Allah dari uang pesangon pensiunan beliau. Dengan
uang yang ada, ayah membuka jasa parut kelapa dan pabrik beras. Tapi usaha ini
tidak berlangsung lama. Karena memang bukan keahlian beliau. Kalau bahasa para
motivator, bukan passion-nya. Sepertinya passion beliau adalah di belakang
setir mobil. Bukan di belakang mesin parutan kelapa dan pabrik beras.
Usaha parut kelapa dan pabrik beras,
hanya berusia satu tahun dan berakhir. Ibarat ikan air laut yang dicelupkan ke
dalam air tawar. Pasti tidak betah. Berontak ingin keluar. Ayah mencoba
peruntungan baru ke daerah Batulicin. Di sana beliau menemukan perusahaan yang
membutuhkan tenanganya. Nah di sini ayah kembali ke alamnya. Bekerja sesuai
irama hati, jadi sopir lagi. Sebenarnya tempat kerjanya agak jauh. Di Kutai
Lama Kartanegara, Kalimantan Timur. Namun bila nurani telah terpanggil, jarak
bukan kendala. Menjadi sopir alat berat di perusahaan Sinar Kumala Naga (SKN).
Sekitar 2 tahun dan 1,5 bulan (15 Januari 2009 sampai 28 Februari 2011). Tepat
tanggal 1 Maret 2011, surat pengunduran diri beliau ajukan. Perusahaan
menerimanya. Saya masih mencatat nomornya 037/Prs-SKN/03/2011. Katanya
alasannya ingin berusaha sendiri dan pulang ke kampung halaman. Begitulah
karakter seorang perantau. Walau jauh melalanglang buana, tapi selalu ingat
kampung halaman. Seindah apapun negeri orang, lebih indah tanah kelahiran.
Waktu itu, saya sudah di Makassar.
Menjadi penuntut ilmu di Universitas Muslim Indonesia. Tanggal 27 maret 2011,
ayah kembali ke kampung halamannya. Dan tanggal itu, begitu gembiranya. Karena
bisa bertemu ayah. Manusia boleh berencana, Allah jua yang menentukan. Tidak
lama ternyata kebahagiaan itu ada. Sebenarnya kalau boleh memilih, masih ingin
rasanya bersama-sama ayah. Mengobati rindu yang telah lama meradang. Beberapa
hari setelah tibanya di tanah Sulawesi, tepatnya hari senin, beliau berencana menuju
ke Mangkutana. Melihat-liat tempat rencana usaha. Namun inilah hari yang
sungguh mengagetkan. Beberapa hari setelah itu, ada kabar yang bagaikan
halilintar menggelegar. Tanggal 31 Maret 2011, langit dunia seperti gelap
dipayungi duka. Di Mangkutana, ayah memejamkan matanya untuk selamanya. Hayat
beliau berakhir. Kembali ke Sang Pengenggam Jiwa. Beliau telah tiada. Ayah,
selamat jalan… Jumpa lagi disurga nanti, insya Allah.
“Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, sesungguhnya
tidaklah engkau memberi nafkah dengan mengharap ridlo Alloh, kecuali pasti
mendapatkan pahalanya, walaupun hanya sesuap makanan yang dikonsumsi istrimu.”
(HR. Bukhori – Muslim).
(MS)
Jangan Lupa tinggalkan jejak dengan memberikan Komentar
Hormatku
Muhammad Sabranπ
http://wa.me/6285299197534
Silahkan lihat juga Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini πππwww.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
Silahkan lihat juga Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini πππwww.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
ππLike, Follow, Subscribe dan Join Akun SOSMED Sayaππ
Like : Fans Page FB Muhammad Sabran
Follow : IG @muhammad_sabran
Subscribe : Youtube Coach Sabran
Join : Telegram Coach Sabran
Posting Komentar untuk "Ayah : Sebuah Parade Kisah"