Ayah: Sebuah Parade Kisah
“Tiap
orang punya cerita. Tentang orang yang dia cinta. Ayah salah satunya.”
Mangkutana, Jum'at, 1 April 2011
Pada bagian ini, ijinkan saya untuk
bercerita sedikit tentang ayahku. Tiap anak, pasti punya cerita sendiri-sendiri
tentang ayahnya. Banyak inspirasi hidup yang bisa saya ambil dari beliau. Pada
lembar-lembar selanjutnya saya akan berbagi. Semoga bisa menginspirasi para
anak, untuk lebih cinta kepada ayahnya. Dan buat para ayah jadilah inspirasi
buat generasi anda.
Ayah adalah anak sulung. Anak perdana
yang ada dalam keluarga. Menanti kelahiran anak pertama, sejuta perasaan
bercampur menjadi satu. Ada luapan bahagia, sebentar lagi akan punya anak. Dan
sempurnalah hidup sebagai lelaki, karena telah menjadi ayah. Muncul juga
debar-debar ketakutan. Ini anak pertama. Belum punya pengalaman sebelumnya.
Bagaimana bila istri tiba-tiba berasa ingin melahirkan? Ke bidan mana hendak
diantar? Bagaimana merawat anak setelah melahirkan nanti? Ah, pokoknya sejuta
khawatir berseliweran dalam angan-angan karena hal itu telah kujalani. Itulah
spesialnya memanti anak pertama. Saya yakin, perasaan serupa sempat hadir dalam
benak kakek dan nenek, ketika menanti kelahiran ayah.
Tepat tanggal 15 Desember 1952 ayah
lahir. Tepatnya di Desa Belawa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Terlahir
bukan sebagai anak orang kaya. Tapi dari keluarga yang sederhana. Ayah dan
ibunya seorang petani. Kehidupannya memang tak mudah. Inilah yang mendidik ayah
untuk menjadi pekerja keras. Sewaktu kecil ayah biasa disapa Ambo Asse. Tapi
bila boleh memilih, ayah lebih senang dipanggil Lasse. Itulah nama beliau yang
saya ingat, sampai akhir hayatnya.
Bakti kepada orang tua, sudah beliau
tunjukkan sedari belia. Kalau musim panen tiba, beliau turut bekerja. Ikut
memanen dan menjemur padi. Ini menyebabkan ayah berbeda dengan anak usianya.
Saat sebagian anak menghabiskan waktu untuk bermain, ayah justru lebih senang
ada di sawah. Demi satu impian, meraih gelar anak soleh. Siapa yang menanam,
dia yang akan memanen. Siapa yang menebar benih kebaikan, tunggulah, kelak akan
adal balasan. Cepat atau lambat. Kedua orang tua ayah, merasa perlu untuk
memenuhi hak anaknya. Khususnya dalam perkara menuntut ilmu. Tekun sekali ayah
bersekolah. Apalagi didukung oleh kedua orang tua. Terutama ibu.
Sampai pada usia 6 tahun, ada kehendak
Allah yang tak bisa ditepis. Di usia yang begitu belia, ayah sudah harus
kehilangan seorang tercinta. Ibunya (nenekku) dipanggil Allah. Sahabat, bisa
dibayangkan, bagaimana galaunya hati. Saat usia masih terlalu muda, saat-saat
sangat membutuhkan kasih sayang dan belaian cinta, ibu pergi tinggalkan dunia.
Terpukul sekali pasti. Apalah daya. Namanya maut adalah kehendak Allah. Tak ada
makhluk seperkasa apapun, yang bisa memundurkan atau memajukannya walau
sedetik.
Sedih ditinggal pergi ibunda, itu
wajar. Tapi berlarut-lartu dalam kesedihan, tiada gunanya. Ayah masih harus
menatap masa depan yang masih panjang. Walau tanpa ibu, ayah tetap bertahan
pada watak lamanya. Rajin belajar dan begitu antusias untuk urusan menuntut
ilmu. Beliau selalu optimis, masa depan nan cerah ada dalam genggamannya.
Bagi ayah, belajar tak selamanya di
bangku sekolah. Di mana saja bisa belajar. Siapa saja adalah guru. Selama dia
memang dapat dipercaya. Ayah mendapatkan ilmu dari bertanya kepada orang yang
lebih tua. Atau siapa saja. Yang jelas, punya ilmu yang bermanfaat. Untuk
sekolah formal, ayah bersekolah di SD Muhammadiyah Belawa. Cita-cita ayah
begitu tinggi. Beliau ingin menjadi insinyur. Ya, begitulah cita-cita orang tua
dulu. Kalau tidak insinyur ya dokter. Seolah-olah hanya dua profesi itu yang
bergengsi. Tak apalah, yang jelas aku telah dibuatnya bangga. Sebab punya ayah
yang bercita-cita tinggi.
Apa hendak dikata. Maksud hati memeluk
gunung, apa daya tangan tak sampai. Impian untuk menjadi insinyur, sirna di
tengah jalan. Manisnya bangku sekolah, hanya beliau rasakan sampai kelas 2 SD
saja. Bukan karena malas. Juga, bukan perkara nilai yang tidak melampaui
standar. Jaman dulu, perkara nilai bisa diatur. Yang penting si anak mau dan
orang tua restu. Beres semuanya. Nah, syarat yang terakhir ini, yang tidak ayah
penuhi. Restu orang tua, tidak beliau dapat.
Ceritanya begini. Semua berawal,
ketika ayah beliau memutuskan untuk menikah lagi. Maka hadirlah pengganti ibu.
Orang bilang, ibu tiri. Ternyata ibu tiri, tak sebaik ibu kandung dulu. Ibu
tirinya termasuk yang anti dengan sekolah. “Buat apa sekolah? Apa pentingnya
itu sekolah? Lebih baik kamu bantu ayah dan ibu mengurus sawah. Itu lebih
menghasilkan. Jemur padi, itu lebih jelas hasilnya daripada pergi sekolah.”
Kurang lebih, begitu bentakan ibu tirinya. Sembari melemparkan bukunya. Sakit
hati memang. Kecewa pasti. Ah, apalah daya yang bisa diperbuat seorang anak
kecil kelas 2 SD. Ayah hanya bisa turut, apa titah ibu tiri. Memang tak semua
ibu tiri itu jahat. Ada juga yang lembut hati. Tapi untuk ayah, Allah
menakdirkan untuk beribu tiri yang kurang paham pentingnya pendidikan. Ayah
yakin, pasti dibalik semua ini ada hikmahnya. Jalani dengan sabar itu kuncinya.
Tidak perlu meratapi nasih. Tapi berpikirlah untuk berbuat yang lebih baik, di
kemudian hari. Setelah saya dewasa kami selalu di ajak oleh ayah untuk
bersilaturahmi dengan nenek tanpa ada rasa dendam sedikitpun. Pelajaran yang
sangat berarti buatku.
(sedikit penggalan isi buku yang saya tulis, semoga ada penerbit yang menerima. Aamiin) (MS)
Jangan Lupa tinggalkan jejak dengan memberikan Komentar
Hormatku
Muhammad Sabran🙏
http://wa.me/6285299197534
Silahkan lihat juga Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini 👉👉👉www.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
Silahkan lihat juga Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini 👉👉👉www.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
👇👇Like, Follow, Subscribe dan Join Akun SOSMED Saya👇👇
Like : Fans Page FB Muhammad Sabran
Follow : IG @muhammad_sabran
Subscribe : Youtube Coach Sabran
Join : Telegram Coach Sabran
Posting Komentar untuk "Ayah: Sebuah Parade Kisah"