Harun Yahya: Muslim Indonesia agar Menyiapkan Diri Menjemput Masa Keemasan
ISTANBUL-Cendikiawan Turki Dr. Adnan Oktar yang kondang di dunia
dengan nama pena Harun Yahya menyatakan, Muslim Indonesia agar
menyiapkan diri menjemput masa keemasan yang datang sepuluh tahun ke
depan.
"Asal anda bersatu, tidak terpecah-pecah, Insya Allah kebangkitan
Islam di Asia akan berpusat di Indonesia. Kami di Turki akan mendorong
'renaissance' (kebangkitan kembali) yang sama di Eropa," katanya dalam
wawancara khusus dengan Antara di kediamannya, pinggiran selat
Bhosporus, Istanbul, Turki, Sabtu.
Harun Yahya adalah cendekiawan Muslim yang dihormati dan punya andil
besar dalam perjuangan Islamisasi dalam masyarakat Turki yang sekuler.
Ia dianggap tokoh yang mengantarkan kemenangan Partai Keadilan dan
Kesejahteraan (AKP) dalam Pemilu di Turki dan keberhasilan Abdullah Gul
menduduki kursi orang nomor satu di negara sekuler itu. Abdullah Gul
meraih suara mayoritas dari parlemen yang memang didominasi AKP.
Ini dianggap sejumlah kalangan sebagai awal era Islamisasi Turki yang dalam kurun waktu lama sangat kuat memegang sekularisme.
Terhitung, sejak ambruknya Khilafah Islamiyah Turki pada 1924, negeri
itu menjadi simbol sekulerisme dipelopori pendirinya, Mushtafa Kamal
Ataturk. "Islam sudah bangkit di Turki dan tentu saja di Indonesia,"
katanya.
Harun pernah datang ke Indonesia dua tahun lalu dalam Konferensi
Cendikiawan Muslim dunia dan melihat perkembangan pemahaman dan
pelaksanaan Islam yang makin kuat di Indonesia.
Semarak agama dan ibadah sangat terasa, namun dari segi-segi
kepartaian dianggap terlalu banyak partai yang berlabel Islam. "Sekarang
kehidupan partai di negeri Anda nampak masih berkaum-kaum, nanti Insya
Allah akan fokus bersatu," kata Harun Yahya yang menulis ratusan buku
dan DVD tentang Islam dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Situs
yayasannya bahkan dikunjungi lima juta orang setiap bulan.
Ia menekankan pentingnya kaum Muslim di Indonesia, Turki atau di mana
pun untuk berjuang menggapai kekuasaan melalui cara-cara demokratis
lewat Pemilu, bukan dengan kekerasan, anarki, apalagi terorisme.
"Prinsip Islam itu sejalan dengan demokrasi. Mari berjuang dengan cara
(demokrasi) ini," nasihatnya.
Dalam 10 tahun yang akan datang, lanjutnya, Islam akan bangkit setelah terpuruk akibat serangan 11 September 2001.
Islam yang "Rahmatan Lilalamin" sudah dibajak oleh radikalisme
Taliban dan Al-Qaida. "Mereka bukan representasi Islam. Mayoritas Muslim
adalah moderat dan cinta damai. Terorisme dan kekerasan bukan jiwa
Islam," katanya. Tapi radikalisme dan terorisme, justru membuat fobia
Islam (ketakutan pada Islam) meningkat di
Eropa dan negara Barat.
Ia mengatakan model pemerintahan masa kekuasan Otoman 500 tahun lalu
bisa mengakhiri fobia Islam dan paranoia di Barat terhadap Islam dan
kaum Muslimin. Kesultan Otoman (Usmaniyah), katanya, sangat toleran
terhadap warga Kristen dan Yahudi selama berabad-abad masa kekuasaannya.
Indonesia dan Turki bisa berperan penting dalam menepis isu terorisme
dan Islamophobia di Barat, dan harus berkampanye mencegah prasangka
buruk dan pemahaman yang salah tentang isu-isu itu. "Misi kita adalah
agar Barat bisa memahami Islam yang sebenarnya dan tidak salah faham
terhadapnya," demikian Dr. Harun Yahya. (ant/ah)
Sumber : http://www.sabili.co.id
Saya sangat sepakat kalau dikatakan Turki adalah NEGARA SEKULER SEJAK RUNTUHNYA KHILAFAH ISLAMIYAH.
BalasHapusNamun bagiku Demikrasi bukan satu-satunya jalan menuju kejayaan Islam.
Insya Allah. KHILAFAH ISLAMIYAH AKAN SEGERA TEGAK KEMBALI.
DENGAN IZIN ALLAH
ALLAHUAKBAR.....
Dan Islam sangat berbeda dengan Demokrasi....
BalasHapusInilah perbedaannya : Coba kita Pikirkan
BalasHapusPertama, dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat sedangkan dalam Islam kedaulatan berada pada pembuat syariah. “Yaitu ada pada Allah SWT,” ungkapnya.
Kedua, sistem demokrasi menetapkan keputusan berdasarkan suara terbanyak terlepas sesuai norma agama atau tidak, sedangkan Islam keputusan diambil/berdasarkan kekuatan dalil.
Ketiga, tolak ukur keputusan dan perbuatan dalam sistem demokrasi bersandar kepada azas manfaat sedangkan dalam Islam bersandar pada kaidah halal-haram.
Keempat, dalam demokrasi memilih pemimpin untuk melaksanakan hukum buatan manusia sedangkan dalam Islam pemimpin dipilih untuk menjalankan hukum-hukum Allah SWT.[