Air Mata Ibu Mengantarkan Kesuksesanku
Setengah jam akupun tertidur pulas. Sampai tiba-tiba ada butir-butir air yang jatuh di mukaku. Aku terkejut, dan terbangun. Dari mana sumber air itu, setelah aku menengadah, Ya Allah... aku tertidur di pangkuan ibuku, dan butiran air itu dari air mata ibuku!
Aku lelaki berusia 43 tahun. Sebut saja namaku Asep Anak bungsu dari
tujuh saudara, seorang anak dari desa kecil dan terpencil di daerah
Garut, Jawa Barat.
Di kampungku hanya ada sekolah dasar (SD). Jika ingin melanjutkan
pendidikan ke jenjang berikutnya, maka perjuangan panjangpun harus
dilakukan. Jalanan becek, jarak tempuh yang mencapai 60 km dari desaku,
ditambah belum banyaknya angkutan umum, menjadi alasan anak-anak
kampungku hanya cukup berijazahkan SD.
Di kampung, orangtuaku hidup sederhana, bahkan bisa dikatakan cukup.
Sepeda motor jenis Trail sudah kami miliki masa itu, yang masih
merupakan barang mahal dan mewah. Tapi itu digunakan kakak-kakak dan
bapakku untuk pergi ke sawah atau ladang.
Aku memiliki keponakan sebut saja Awing yang usianya tiga tahun di
atasku, karena ia anak kakakku yang pertama. Dengan Awing ini perjalanan
hidupku dimulai. Saat lulus SD, aku dan Awing naik sepeda berboncengan,
bermaksud mengembalikan pompa tangan yang ku pinjam untuk memompa ban
sepeda kami. Di tengah perjalanan, aku bertemu seorang anak yang
menantangku berkelahi. Si Awing berusaha menasihati. Namun pada
ujungnya, aku pun terlibat perkelahian dengan tetangga kampungku.
Singkat cerita anak itu berdarah di kepala, akibat pukulan pompa
sepeda yang aku bawa. Dia terkapar dan berdarah-darah. Aku dan Awing
lari bersepeda, pulang ke rumah karena takut terjadi apa-apa.
Benar saja, anak itu di bawa ke puskesmas dengan 60 luka jahitan,
apesnya seorang kerabat korban ternyata seorang Polisi. Malam itu
selepas isya, rumahku dikepung Polisi. Antara takut dan bingung tanpa
seizin orang rumah, aku kabur ke daerah Banten yang berjarak 350 km
dengan uang seadanya. Tujuanku adalah rumah kakakku yang memang sudah
berkeluarga dan menetap di sana.
Musibah itu, memberikan rahasia kuasa-Nya, justru di Banten ini
banyak tersebar sekolah. Akhirnya akupun sekolah sampai lulus SMA di
sini. Aku dapat kabar keluargaku di Garut memutuskan menyelesaikan
masalahku dengan polisi untuk berdamai dengan keluarga korban.
Selepas SMA aku jatuh hati pada seorang wanita Nasrani yang cukup
terpandang di Banten. Karena kami sudah sama-sama suka, akupun nekat
membawanya, bersyahadat dan menikah. Keluarga istriku pun marah dan
mengusir kami, begitupun dengan keluargaku yang di Garut semua tidak
setuju aku menikah dengan wanita yang tak seiman dan tanpa izin
orangtuanya.
Perlahan tapi pasti masalah mulai datang. Aku pengangguran. Dua
keluarga tak menerima kehadiran kami. Istri sedang mengandung. Besar
sekali beban yang ku tanggung.
Di antara kebutuhan dan bentuk tanggung jawab, aku mencoba
peruntungan ke Ibukota, Jakarta. Di sebuah terminal aku berkenalan
dengan seorang tetangga kampungku di Garut dan sudah menetap di Jakarta.
Ternyata ia seorang preman pasar yang sudah kesohor di salah satu
pasar di Jakarta. Dengannya aku menggantungkan hidup. Berjudi, memalak,
mabuk-mabukan main perempuan semuanya aku lakukan sebagai anak buah
preman pasar. Bahkan nyaris saja aku mentato tubuhku. Lembaran demi
lembaran, uang aku dapatkan dari jatah preman dan setoran para pedagang,
apalagi kalau aku sudah menang berjudi. Hidup seperti orang kaya,
dipenuhi uang, makanan enak, dan minuman juga dikelilingi perempuan. Aku
lupa istri dan jabang bayiku. Satu hal yang aku lupa di rumah sang
preman tak ada air putih. Yang ada hanya minuman kaleng jenis Bir.
Mabuk, sudah jadi gaya hidupku!
Suatu hari aku kedatangan seorang tamu yang samar-samar aku kenal,
”Awing.?!!” teriakku senang. Setelah sekian lama terbuang, ada satu
orang dari keluargaku yang menemukan dan menjumpaiku. Ya Awing
keponakkan yang usianya tiga tahun di atasku.
Awing menyuruhku bertaubat dan pulang. Aku pun pulang menemui istri
sampai melahirkan anak pertamaku. Di sini hidup terus berputar. Setelah
anakku lahir keluarga istriku mulai menjalin silaturrahim, bahkan aku
ditawari bekerja di perusahaan salah satu kerabat istriku di Bandung.
Karena ijazahku ada di Garut maka akupun pulang untuk pertama kalinya
setelah kasus perkelahian dan pernikahanku. Ada yang kosong dalam
pikiranku. Bagaimana kabar ibu, bapak, kakak-kakaku, keponakkanku, motor
trail kami? Semuanya menari-nari dipikiranku. Ada senang ada sedih, dan
rindu semuanya jadi satu, mengiringi perjalanan malam melelahkan 350 km
ku.
Setelah duabelas jam perjalanan dengan bis disambung ojek dan
berjalan kaki, aku sampai di rumah. Waktu Shubuh telah masuk ditandai
suara sahutan adzan. Rumah dalam keadaan sepi, hening dan tentu saja
berhawa sejuk karena rumah kami, ada di kaki gunung. Pintu belakang tak
dikunci pertanda ibuku sedang berwudhu, karena kamar kecil itu ada di
luar rumah. Berpapasan aku dengan ibuku. Ada haru, tapi aku tahan dan
malu. Ibuku hanya berujar agar berwudhu dan shalat Subuh berjamaah.
Selepas shalat, aku rebahan di pangkuan ibuku melepas rindu dan
mengobrol tentang kisah panjangku. Karena letih akupun tertidur di
pangkuan ibuku yang masih bermukena dan sarung masih melilit di
pinggangku. Setengah jam akupun tertidur pulas. Sampai tiba-tiba ada
butir-butir air yang jatuh di mukaku. Aku terkejut, dan terbangun. Dari
mana sumber air itu, setelah aku menengadah, Ya Allah... aku tertidur di
pangkuan ibuku, dan butiran air itu dari air mata ibuku! Seketika aku
menangis memohon ampun dan bertaubat pada Allah, Ibu dan keluargaku, dan
bermaksud mengubah semua kelakuan burukku.Aku Rangkul ibu dengan
pelukan haru dan tangis yang bersahutan.
Setelah istirahat aku izin pulang ke Banten ke kontrakan istri dan
anakku, dan memohon doa ibu agar cita-citaku bekerja yang halal
terwujud. Alhamdulillah Aku diterima bekerja di Bandung tempat kerabat
istriku. Karena gajiku tidak cukup aku mengontrak rumah kecil, sementara
istri dan anakku tetap di Banten. Sampai kuanggap cukup aku pun
memboyong keluargaku ke Bandung.
Setahun kemudian aku membeli rumah. Terus, ada yang menawariku
mengelola perusahaan plastik yang hampir bangkrut. Aku bekerja
sungguh-sungguh, sampai akhirnya perusahaan itu maju dan berkembang
serta mendapatkan untung yang lumayan.
Saat ini aku sudah mampu memberangkatkan ibuku berhaji, memiliki
kendaraan seri terbaru, anak-anak dan istri yang shalih. Sayang
keinginanku untuk merenovasi rumah baru terwujud setelah ibu satu tahun
meninggalkanku. Terimakasih ibu tanpamu aku bukan siapa-siapa juga bukan
apa-apa.
Seperti dituturkan Asep pada Iwan Priatna
Sumber : http://www.sabili.co.id/
Silahkan tinggalkan jejak dengan memberikan Komentar.......
Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini πππwww.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
Hormatku
Coach Sabranπ
LUAR BIASA SEORANG IBU.
BalasHapusDENGAN DOANYA KITA BISA SUKSES
SEORANG IBU BISA MERAWAT 10 ORANG ANAK
TAPI 10 ORANG ANAK BELUM TENTU DAPAT MERAWAT SEORANG IBU.
TERIMAKASIH IBU...TERIMAKASIH