Pahlawan Pangeran Diponegoro
Semoga sahabat-sahabatku semua dalam keadaan sehat dan bahagia, kali ini yuk kita baca sejarah pangeran diponegoro.....Maaf butuh waktu banyak untuk membaca artikel berikut sebab artikelnya cukup panjang......Selamat membaca dan semoga kita dapat mencontoh beliau
Asal Usul Pangeran Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari
kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan
ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia
menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3
orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih,
& Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro
lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih
suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya,
permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun,
sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai
cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan
sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa
saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro
ditangkap pada 1830.
Penangkapan dan pengasingan
- 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
- 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
- 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
- 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
- 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
- 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
- 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Dalam
perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama
Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah
Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus
Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden
Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati
adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama
Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah masuk
dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton
Yogyakarta.
Perjuangan
Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada
kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa
menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan
pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka
Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama
keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti
suksesnya penyerbuan.
Ki
Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu
dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya
pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak
tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak
turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda.
Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon
yang artinya penyamaran.
Keturunan
Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan
Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu
para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang
bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah
paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.
Setidaknya
Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang
semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa,
Sulawesi & Maluku.
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1]
melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta
bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban
yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen
Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar
200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu
Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang
Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah
dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini
melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.
Setelah
kekalahannya dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah
Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan
kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya,
termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli
usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan
praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika
itu sudah sangat menderita.
Untuk
semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai
berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di
antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV
wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo,
seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda
dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat
keraton.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan,
mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo.
Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur
Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro
tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia
kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang
melewati makam tersebut.
Belanda
yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena
dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau.
Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri
menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan
ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima
kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang
tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman
Pangeran.
Pangeran
Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak
di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya.
Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga
menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah
penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5
tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi
bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati";
sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang,
sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan
Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual
pemberontakan.
Jalannya perang
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon
menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah
pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan
kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian
sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda
pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali
oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu
dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru
berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi
dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan
musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi
berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun
melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan
besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan;
para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai
"senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda
akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena
hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak
tampak" melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa
pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan
mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator
mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan
menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat
yang berjuang dibawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi
tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada
puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu
wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur
dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah
perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah
perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war
atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai
siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga
dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi
dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka
yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada
tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada
tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya
menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal
De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana,
Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat
sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap
dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan
Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000
orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta
menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta
Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX
memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu
Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah
bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Perang Diponegoro dan Perang Padri
Di
sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di
Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum
Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan
soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme.
Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada
akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang
belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I
antara 1821-1825, dan babak II.
Untuk
menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang
dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro
yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada
tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke
Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas
perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri
babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol
akhirnya menyerah. Berakhirlah Perang Padri.
Sumber: id.wikipedia.org
Pangeran Diponegoro: Pahlawan ‘Perang Sabil’ Untuk Menegakkan Syariah Islam
Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ia tulis sendiri
di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi
untuk agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat
agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari pengaruh
kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo.1 Pemuda
yang bernama Bendoro Raden Mas Ontowiryo sewaktu kecil ini mendapat
gemblengan langsung dari neneknya (permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo) sehingga minat belajar Islamnya tinggi.2 Di tempat ini,
selain memperdalam pengetahuan-nya tentang Islam, ia juga secara tekun
melaksanakan ketentuan-ketentuan syariah Islam.
Berbicara tentang Pangeran Diponegoro pasti kita akan membahas
‘Perang Jawa’. Terkait Perang Jawa, menurut Carey (dosen di Trinity
College, Inggris), ada faktor kembar yang mendorong Pangeran
Diponegoro—seorang adiwangsa Keraton Yogyakarta yang semula bersikap
netral dan tidak menunjukkan ambisi politik apapun—mendeklarasikan
“perang suci” itu melawan Belanda, yaitu krisis agraria yang melanda
Jawa Tengah tahun 1823- 1825 dan berbagai tindakan yang tak pantas yang
ditunjukkan para petinggi Belanda di Yogyakarta. Hal itu antara lain
terefleksi dalam sindirannya kepada Residen Yogyakarta HG Baron Nahuys
van Burgst dalam babad-nya, “Karemannya mangan minum/lan anjrah cara Welanda & apos (Sukanya makan-minum dan menyebarkan kebiasaan orang Belanda).”3
Oleh karena itu, dalam memimpin “Perang Jawa” Diponegoro senantiasa
diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syariah Islam itu
tegak di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari surat
Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam
bahasa Jawa, antara lain berbunyi: “Surat ini datangnya dari saya,
Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro, bersama dengan Pangeran Mangkubumi
di Yogyakarta Adiningrat, kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan
bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui
oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil,
tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh
bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini,
segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’.
Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini,
maka dia akan kami penggal lehernya…” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun
Be (31 Juli 1825).4
Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia
adalah seorang penasihat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan
jiwa Islam dalam perjuangan yang dia pimpin. Selain penasihat
Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah
Solo. Sebelum Perang Jawa pecah, ia telah berkenalan erat dengan
Diponegoro. Karena itu, tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya,
Kiai GazaIi, dan para santrinya bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Langkah yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan
kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang
penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas
rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi, “Saudara-saudara di tanah
dataran! Apabila saudara-saudara mencintai saya, datanglah dan
bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai
saya, datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.”
Seruan ini disebarluaskan di seluruh Tanah Mataram, khususnya di
Jawa Tengah, dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan
masyarakat. Daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!5
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari
daerah Mojo-Solo. Ia datang bersama barisan santrinya, menggabungkan
diri dengan pasukan Diponegoro. Ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap
pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya
diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu di bawah pimpinan
Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. ‘Perang
Sabil’ menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar
hampir seluruh Tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa
Barat.
Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat
disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan
motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang
bertitik kulminasi dengan meletusnya perang tersebut. Kesimpulan ini
sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa
faktor baru muncul pada abad ke-19 saat daerah-daerah di Indonesia
rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para
kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan dukungan kuat dari
rakyat. Para penguasa kolonial Belanda terus-menerus berkonfrontasi
dengan sultan-sultan Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk
mempersatu-kan diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Islam;
sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum.6
Pangeran Diponegoro, dengan tipudaya licik dari Belanda, akhirnya
bisa ditaklukkan dan dibuang ke Manado dan Makassar hingga meninggal di
sana. Namun demikian, tampak bahwa Perang Jawa yang dahsyat dan penuh
patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang
Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan
mendirikan negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah
yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang
Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi
dengan menegakkan syariah Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro
sampai pada saat perundingan dengan Belanda, serta tujuan yang akan
dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan
pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan
negara Islam di Tanah Jawa.7 [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
2 http://yudhitc.wordpress.com/2008/10/27/biografi-lengkap-pangeran-diponegoro/
3 Ibid.
4 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat
Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda), Yayasan
Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id
Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.
Sumber Foto :http://www.raddien.com
Posting Komentar untuk "Pahlawan Pangeran Diponegoro"