Kerajaan Gowa-Tallo; Ekspedisi Islam Oleh “Serambi Madinah” dari Timur (Bagian 1)
Sejarah Gowa tentu tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Daerah ini
menjadi salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang kini berpenduduk
tidak kurang dari 600 ribu jiwa yang mayoritasnya adalah Muslim.
Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi
dan bagian timur Indonesia sangat pesat. Kerajaan Gowa-Tallo berhasil
menorehkan tinta emas sejarah peletakan dasar dan penyebaran Islam di
bagian timur negeri ini. Kerajaan ini juga adalah kerajaan yang
menerapkan syariah Islam. Karena itu, wajar kalau Gowa ini dikenal
sebagai “Serambi Madinah”. Tulisan ini berupaya menyegarkan ingatan kita
kembali tentang sejarah gemilang ini.
Awal Masuknya Islam
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya tidak bisa dilepaskan
dari aktivitas perdagangan. Demikian halnya dengan kedatangan Islam di
Gowa. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang dimungkinkan
karena di dalam ajaran Islam tidak dibedakan antara tugas keagamaan
seorang Muslim, sebagai penyebar nilai-nilai kebenaran, dan profesinya
sebagai pedagang. Setiap Muslim, apapun profesinya, dituntut untuk
menyampaikan ajaran Islam sekalipun satu ayat.
Sekalipun para pedagang Muslim sudah berada di Sulawesi Selatan
sejak akhir Abad XV, tidak diperoleh keterangan secara pasti, baik dari
sumber lokal maupun sumber dari luar, tentang terjadinya konversi ke
dalam Islam oleh salah seorang raja setempat pada masa itu, sebagaimana
yang terjadi pada agama Katolik.
Agaknya inilah yang menjadi faktor pendorong para pedagang melayu
mengundang tiga orang mubalig dari Koto Tangah (Kota Tengah1)
Minangkabau ke Makassar untuk mengislamkan elit Kerajaan Gowa-Tallo.
Inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak
Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang2). Ia adalah seorang ulama dari
Minangkabau sekaligus pedagang yang berada di Gowa pada pertengahan Abad
XVI (1525).
Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad
XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari
Minangkabau.3 Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua
(Makassar), yaitu: (1) Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer
dengan nama Datuk ri Bandang; (2) Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih
populer dengan nama Datuk Patimang; (3) Abdul Jawad, Khatib Bungsu,
yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro.
Ketiga ulama tersebut yang berasal dari Kota Tengah Minangkabau,
diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk
mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Mereka
terlebih dulu mempelajari kebudayaan orang Bugis-Makassar, di Riau dan
Johor, tempat orang-orang Bugis-Makassar berdiam. Sesampainya di Gowa,
mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak
tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah
Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallok dan Raja Gowa.4
Graaf dan Pigeaud mengemukakan bahwa Datuk ri Bandang sebelum ke
Makassar lebih dulu belajar di Giri. Datuk ri Bandang dan temannya yang
lain, ketika tiba di Makassar, tidak langsung melaksanakan misinya,
tetapi lebih dulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada
orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang raja
yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke
Luwu untuk menemui Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu
adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan
tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.
Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu.5
Ekspedisi Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo’
Sejak agama Islam menjadi agama resmi di Gowa-Tallo’, Raja Gowa
Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya. Sebab, beliau juga diakui
sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam) dan kekuasaan Bate
Salapanga diimbangi oleh qadhi, yang menjadi wakil raja untuk
urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar
yang telah lebih dulu memeluk agama Islam pada abad XVI. Sultan
Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di Sulawesi Selatan.
Cara pendekatan yang dilakukan oleh Sultan Alauddin dan Pembesar
Kerajaan Gowa adalah mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara
Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi
antara lain: barangsiapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau
daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari
mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.6
Karena itu, dengan dalih bahwa Gowa sekarang sudah melihat jalan
kebajikan, yaitu agama Islam, Kerajaan Gowa meminta kepada
kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam. [Gus
Uwik]
Catatan Kaki:
1 Zainal Abidin, Andi, Prof. Mr. DR, Sejarah Sulawesi Selatan (hal:228-231), Hasanuddin University Press, 1999
2 ibid
3 Sewang, Ahmad, Prof. DR. H. MA, Makalah “Empat Abad Islam di
Sulawesi Selatan”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat
Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-7 September 20007
4 Zainal Abidin, Andi, Prof. Mr. DR, Sejarah Sulawesi Selatan (hal:228-231), Hasanuddin University Press, 1999
5 Sewang, Ahmad, Prof. DR. H. MA, Makalah “Empat Abad Islam di
Sulawesi Selatan”, Seminar Internasional dan Festival Kebudayaan, Pusat
Kajian Islam (Centre For Middle Eastern Studies) Devisi Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora PKP Unhas dan Pemkot Makassar, 5-7 September 20007
6 H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di
Sulawesi Selatan (hal. 55-62), Lembaga Penelitian dan Pelestarian
Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.
Posting Komentar untuk "Kerajaan Gowa-Tallo; Ekspedisi Islam Oleh “Serambi Madinah” dari Timur (Bagian 1)"