Jejak Penerapan Syariah dan Daulah Khilafah di Indonesia
Oleh: Dr. Maman Kh. (staf pengajar UIN Syarief Hidayatullah)
Adalah sangat jelas dalam sejarah Indonesia, bahwa syariah Islam pernah
secara formal diterapkan di bumi Nusantara . Saat itu para Sultan
menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara. Hal ini membantah pendapat
segelintir orang dari kelompok liberal, bahwa di Indonesia tidak pernah
diterapkan syariah Islam secara formal oleh negara. Tidak hanya itu,
kesultanan di Indonesia memiliki hubungan yang jelas dengan Khilafah
Islam.
Tegaknya syariat Islam tidak lepas dari keberadaan penguasa kaum Muslim yang menerapkan hukum Islam, menjaga akidah Islam, melindungi kepentingan umat Islam, dan melakukan dakwah Islam. Penguasa tersebut sering disebut sebagai khalifah, imam, amirul mukminin, atau sultan.
Terlepas dari soal penamaan ini, penguasa kaum Muslim pada dasarnya adalah penguasa otoritatif yang diakui keberadaannya oleh kaum Muslim; mereka menjaga dan membela kaum Muslim dari berbagai pihak yang mencoba menganggu eksistensi kaum Muslim serta memelihara kaum Muslim sedunia.
Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan oleh Kekhilafahan Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.
Hal ini dengan sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang sekaligus berprofesi sebagai pedagang. Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia.
Tulisan ini akan mengkaji pengaruh keberadaan Khilafah Islam yang berpusat di Timur Tengah, khususnya pada masa Utsmaniyah, terhadap kehidupan umat Islam di Nusantara. Kajian didasarkan pada suatu kerangka analisis bahwa dengan adanya Khilafah, umat Islam berada di bawah satu kepemimpinan. Khalifah merupakan pelindung kaum Muslim. Para penguasa kaum Muslim di berbagai belahan dunia dengan sendirinya akan mengakui dan tunduk pada Khalifah. Gangguan terhadap umat Islam di suatu negeri dianggap sebagai gangguan terhadap seluruh kaum Muslim; Khalifah akan berperan aktif mengamankannya.
Secara faktual, pada abad 16 dan 17, umat Islam di Kepulauan Nusantara sedang menghadapi serangan penjajah asing, khususnya Portugis dan Belanda. Kedatangan Portugis, sebagaimana diketahui, memiliki tujuan: merampas kekayaan umat Islam (gold), menjalankan tugas suci kristenisasi (gospel), dan melakukan pembalasan terhadap kaum Muslim yang telah menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman Kekhilafahan Bani Umayah (glory). Portugis ingin mewujudkan dominasi militer terhadap komunitas umat Islam.
Bertolak dari fakta-fakta inilah, penulis melihat adanya hubungan antara Kekhilafahan Islam dan para Sultan di Kepulauan Nusantara.
Dua Pucuk Surat Pengakuan
Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Daulah Islam. Keberhasilan umat Islam melakukan penaklukan (futûhât) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Khilafah Islam sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M.
Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara yang masih beragama Hindu sekalipun mengakui kebesaran Khilafah.
Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.
".Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah…"
Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam karyanya, Al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah sebagai berikut:
".Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja.…kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya".
."Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena saya adalah saudara Anda dalam Islam Ibnu Tighribirdi, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, An-Nujûm azh-Zhâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, memberikan kalimat tambahan pada akhir surat ini, yakni... "
Namun demikian, sekalipun ada kalimat, "Saudara Anda dalam Islam," belum ada indikasi Maharaja Sriwijaya memeluk Islam. Maharaja yang berkuasa pada masa itu ialah Sri Indravarman, yang disebut sumber-sumber Cina sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi pemeluk Islam.
Sultan Rum, Khâdim al-Haramayn
Munculnya Kekhilafahan Islam Turki Utsmani, terutama setelah berhasil melakukan penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada 857/1453, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah "Sultan Rum."
Sebelum kebangkitan Turki Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium, dan kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah kemunculan Turki Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.
Kekuatan politik dan militer Kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa di kawasan Lutan India pada awal abad ke-16. Sebagai penguasa kaum Muslim, Khalifah Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khâdim al-Haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para penguasa Turki Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani di tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis.
Pada tahun 954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.
Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji.
Pada saat yang sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16.
Dalam kaitan dengan
pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut
Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan
melaporkannya ke pusat pemerintahan Khilafah di Istambul. Salah satu
bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah sebagai berikut:Tegaknya syariat Islam tidak lepas dari keberadaan penguasa kaum Muslim yang menerapkan hukum Islam, menjaga akidah Islam, melindungi kepentingan umat Islam, dan melakukan dakwah Islam. Penguasa tersebut sering disebut sebagai khalifah, imam, amirul mukminin, atau sultan.
Terlepas dari soal penamaan ini, penguasa kaum Muslim pada dasarnya adalah penguasa otoritatif yang diakui keberadaannya oleh kaum Muslim; mereka menjaga dan membela kaum Muslim dari berbagai pihak yang mencoba menganggu eksistensi kaum Muslim serta memelihara kaum Muslim sedunia.
Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan oleh Kekhilafahan Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.
Hal ini dengan sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang sekaligus berprofesi sebagai pedagang. Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia.
Tulisan ini akan mengkaji pengaruh keberadaan Khilafah Islam yang berpusat di Timur Tengah, khususnya pada masa Utsmaniyah, terhadap kehidupan umat Islam di Nusantara. Kajian didasarkan pada suatu kerangka analisis bahwa dengan adanya Khilafah, umat Islam berada di bawah satu kepemimpinan. Khalifah merupakan pelindung kaum Muslim. Para penguasa kaum Muslim di berbagai belahan dunia dengan sendirinya akan mengakui dan tunduk pada Khalifah. Gangguan terhadap umat Islam di suatu negeri dianggap sebagai gangguan terhadap seluruh kaum Muslim; Khalifah akan berperan aktif mengamankannya.
Secara faktual, pada abad 16 dan 17, umat Islam di Kepulauan Nusantara sedang menghadapi serangan penjajah asing, khususnya Portugis dan Belanda. Kedatangan Portugis, sebagaimana diketahui, memiliki tujuan: merampas kekayaan umat Islam (gold), menjalankan tugas suci kristenisasi (gospel), dan melakukan pembalasan terhadap kaum Muslim yang telah menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman Kekhilafahan Bani Umayah (glory). Portugis ingin mewujudkan dominasi militer terhadap komunitas umat Islam.
Bertolak dari fakta-fakta inilah, penulis melihat adanya hubungan antara Kekhilafahan Islam dan para Sultan di Kepulauan Nusantara.
Dua Pucuk Surat Pengakuan
Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Daulah Islam. Keberhasilan umat Islam melakukan penaklukan (futûhât) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Khilafah Islam sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M.
Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara yang masih beragama Hindu sekalipun mengakui kebesaran Khilafah.
Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.
".Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah…"
Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam karyanya, Al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah sebagai berikut:
".Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja.…kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya".
."Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena saya adalah saudara Anda dalam Islam Ibnu Tighribirdi, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, An-Nujûm azh-Zhâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, memberikan kalimat tambahan pada akhir surat ini, yakni... "
Namun demikian, sekalipun ada kalimat, "Saudara Anda dalam Islam," belum ada indikasi Maharaja Sriwijaya memeluk Islam. Maharaja yang berkuasa pada masa itu ialah Sri Indravarman, yang disebut sumber-sumber Cina sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi pemeluk Islam.
Sultan Rum, Khâdim al-Haramayn
Munculnya Kekhilafahan Islam Turki Utsmani, terutama setelah berhasil melakukan penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada 857/1453, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah "Sultan Rum."
Sebelum kebangkitan Turki Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium, dan kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah kemunculan Turki Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.
Kekuatan politik dan militer Kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa di kawasan Lutan India pada awal abad ke-16. Sebagai penguasa kaum Muslim, Khalifah Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khâdim al-Haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para penguasa Turki Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani di tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis.
Pada tahun 954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.
Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan konstribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji.
Pada saat yang sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16.
"(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai)
di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka
mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir,
mereka juga menguasai pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan
Sumatera….Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insya
Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak
terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan
mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu."
Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.
Membebaskan Malaka dan Menaklukan Daerah Batak
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka
diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi
perhatian Turki Utsmani.
Pada tahun 925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang
pelepasan armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan
kafir. Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.
Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari
Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh.
Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di
pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539. Ketika Sultan Alauddin Riayat
Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia kelihatan
menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki,
bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk
melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah
pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Qahhar menggunakan pasukan
Turki, Arab, dan Abesinia.
Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak,
melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama
Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib,
mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap
wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi
solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan
langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.
Demikianlah, hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan
merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap
Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.
Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istambul untuk meminta
bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu
berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia
berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan
kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor
pada 973/1564.Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustân as-Salâthîn,
meriwayatkan, bahwa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar mengirim
utusan ke Istambul untuk menghadap 'Sultan Rum'. Utusan ini bernama
Husain Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah
menunaikan ibadah haji.
Khalifah dan Gubernurnya di Aceh
Dalam kaitan dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah arsip
Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Alauddin Riayat Syah
kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni yang dibawa Husain Effendi. Dalam surat
ini Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu,
surat ini melaporkan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan
masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam
perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk
menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.
Khalifah Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi
Aceh mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang
mengeluarkan perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar
militer ke Aceh. Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez,
Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah
ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan
berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan.
Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun
1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak,
dan para teknisi. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka
pada tahun 1568. Namun, dalam perjalanan, armada besar ini hanya
sebagian yang sampai Aceh karena dialihkan untuk memadamkan
pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 979/1571.
Yang merupakan utusan resmi Khalifah yang ditempatkan di daerah Aceh.
Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya dengan
sendirinya disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka
disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar
sebagai gubernur (wali) Aceh,
Bendera Turki di Kapal Aceh
Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de
Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993/1585
melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan
Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan
serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan
Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah
melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah
Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada
Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk
mengibarkan bendera Turki. Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus
berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis.
Menurut seorang penulis Aceh, pengganti al-Qahhar kedua, yakni Sultan
Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer
dengan Utsmani.
Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti
Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Kekhilafahan
Turki sebagai bantuan Khalifah terhadap Aceh. Kapal-kapal besar yang
berasal dari Turki, yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya
dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang menganggu
wilaya-wilayah Muslim di Nusantara.Kapal-kapal atau perahu yang dipakai
Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang gesit dan
kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi lautan
hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah
terakhir ini merupakan bagian dari wilayah Kekhilafahan Turki Utsmani.
Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000
ton.
Menurut sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (10116-46/1607-36)
mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai
Istambul setelah dua setengah tahun pelayaran melalui Tanjung Harapan.
Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata,
12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Khilafah
Utsmaniyah tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh. Kedua belas
pakar militer tersebut disebut pahlawan di Aceh. Mereka dikatakan
sangata ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya
dalam membantu membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga
istana kesultanan.
As-Singkeli dan Qanun Syariah di Aceh
Sebagai bagian Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai
patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak
didatangi para ulama dari berbagai belahan Dunia Islam lainnya. Syarif
Makkah mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syaikh
Abdullah Kan'an sebagai guru dan muballig. Sekitar tahun 1582, datang
dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khair dan
Syaikh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah
ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-Singkeli.
Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb. Karena itu, ia
resmi menjadi kadi/hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al- Adil.
Selanjutnya, sebagai seorang kadi/hakim, Abdur Rauf diminta Sultan
untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qânûn) penerapan syariat
Islam.Abdur Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyatuddin
Shah untuk menduduki jabatan kadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi
al-Malik al-Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nuruddin
ar-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai
pertimbangan, Abdur Rauf menerima tawaran tersebut.
Menurut Abdur Rauf, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath
al-Wahhâb karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain
yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah
al-Muhtâj, Nihâyah al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh
Shahîh Muslim.
Mir’ah ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi'i, kecuali
masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan
sebagian kandungan Mir'ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak,
Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah. Namun, terlepas dari itu, Aceh
sebagai bagian dari Khilafah Islam memiliki qânûn (undang-undang)
penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abdur Rauf as-Singkeli.
Penutup
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. Banyak bukti yang menunjukkan adanya
hubungan yang dekat antara Aceh dan Khilafah Utsmani. Aceh seakan-akan
dianggap sebagai bagian dari wilayah Turki Utsmani. Persoalan yang
menimpa umat Islam di Aceh seakan-akan dianggap sebagai persoalan umat
Islam secara keseluruhan. Khilafah Utsmani melindungi wilayah Aceh serta
membantu Aceh melakukan futûhât dan dakwah.
Footnote:
[1] Uka Tjandrasasmita, “Hubungan Perdagangan Indonesia-Persia (Iran) Pada Masa Lampau (Abad VII-XVII M) daan Dampaknya terhadaap Beberapa Unssur Kebudayaan” Jauhar Vol. 1, No. 1, Desember 2000 hlm. 29.
[2] Mengenai motif kedatangan Portugis di Nusantara, lihat Uka Tjandrasasmita, “The Indonesian Harbour Cities and The Coming of Portruguese” dalam Ivo Carnerio de Sousa dan RZ. Leirissa (eds.), Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship (International Seminar Organized by Fakultas Sastra, Universitas Indonesia aand The Portugueese Center for The Study of Southeast Asia, Depok, 9-11 Oktober 2000).
[3] Uka Tjandrasasmita, op.cit. hlm. 32.
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2004) hlm. 27-28.
[5] Ibid. hlm. 28.
6] Ibid. hlm. 29.
[7] Ibid. hlm. 29.
[8] Para khalifah Turki Ustmani sering disebut sebagai “Sultan Rum” karena menduduki Konstantinopel yang merupakan bekas Kerjaaan Romawi Timur. Ini merupakan hasil wawancara penulis dengan Prof.Dr. Uka Tjandrasasmita, Selasa, 11 Januari 2005.
[9] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 36.
[10] Ibid hlm. 38.
[11] Ibid. hlm. 36.
[12] Saleh Obazan, dikutip dari Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 40-41.
[13] Ibid. hlm. 41.
[14] Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984) hlm. 33.
[15] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 42.
[16] Lukman Thaib, “Aceh Case: Possible Solution to Festering Conflict,” Journal of Muslim Minorrity Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hlm. 106.
[17] Metin Innegollu, “The Early Turkish-Indonesian Relation,” dalam Hasan M. Ambary dan Bachtiar Aly (ed.), Aceh dalam Retrospeksi dan Reflkesi Budaya Nusantara (Jakarta: Informasi Taman Iskandar Muda, tt) hlm. 53.
[18] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 43-44.
[19] Farooqi, “Protecting the Routhers to Mecca,” hlm. 215-6, dikutip dari Ibid., hlm. 44.
[20] Metin Innegollu, op.cit. hlm. 54.
[21] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 44.
[22] Marwati Djuned Pusponegoro dan Nugroho Noto Susanto, op.cit. hlm. 54.
[23] Metin Innegollu, op.cit. hlm. 54.
[24] H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 272-77; lihat juga, op.cit. hlm. 44.
[25] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 44-45.
[26] Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, op.cit. hlm. 56.
[27] Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, op.cit. hlm. 96.
[28] Ibid. hlm. 257.
[29] Azyumardi Azra, op.cit. hlm. 45.
[30] Peunoh Daly, ‘Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah dan Nafkah dalam Naskah Mir’at al-Tullab Kaarya Abd Raauf Singkel,” Disertasi Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 1982), hlm. 15-16.
[31] Ibid. hlm. 32.
[32] Ibid hlm. 36.
[33] Ibid hlm. 38
Posting Komentar untuk "Jejak Penerapan Syariah dan Daulah Khilafah di Indonesia"