Jejak Khilafah dan Syariah di Indonesia
Tidak banyak kaum Muslim, khususnya di Indonesia, yang tahu bahwa tepatnya tanggal 3 Maret 1924, Khilafah Islam yang berkedudukan di Turki diruntuhkan oleh kekuatan penjajah Inggris melalui kaki tangannya, Mustafa Kemal Attaturk. Sepantasnya kaum Muslim prihatin-sebagaimana jutaan umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang sedih luar biasa saat itu-menyaksikan institusi politik Islam global itu diruntuhkan.
Ya, kita pantas prihatin dan bersedih karena:
Pertama, Khilafah adalah institusi politik yang telah di-nubuwwah-kan oleh Rasul saw. sejak 14 abad yang lalu:.
Dulu Bani Israil selalu dipimpin
dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi
lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan
tetapi, nanti akan ada banyak khalifah. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, Khilafahlah yang
lebih dari 13 abad mengayomi dan mempersatukan kaum Muslim sedunia,
dengan seluruh kemajuan peradabannya, kejayaan institusinya dan
kemakmuran warga negaranya. Bahkan kaum Muslim Indonesia pun pernah
merasakan perhatian dan kepedulian Khilafah; sesuatu yang tidak banyak
diketahui oleh kaum Muslim sendiri di negeri ini.
Namun demikian, tulisan berikut
tidak dimaksudkan untuk "meratapi" keruntuhan Khilafah. Tulisan ini
lebih ditujukan agar kita tidak mudah melupakan begitu saja sejarah kita
sendiri sebagai umat Islam, khususnya di Indonesia, yang diakui atau
tidak, banyak diwarnai oleh warna Islam. Bahkan jejak syariah dan
Khilafah di Indonesia sebetulnya bisa ditelusuri dari sejumlah rujukan
dan bukti sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Awal Masuknya Islam
Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Saat itu sudah ada jalur pelayaran
yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang
menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani
Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7. (Prof. Dr. Uka
Tjandrasasmita, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara,
Kedatangan dan Penyebaran Islam, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
hlm. 9-27).
Sebuah
kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram
225H atau 12 November tahun 839M. Demikian pula Kerajaan Ternate tahun
1440. Kerajaan Islam lain di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan.
Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas,
Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan
Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan
Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan
di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan
Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh
Kesultanan Mataram, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Silam diterapkan
dalam institusi Kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu.
Di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi
Kesultanan Bima. (Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian "Dunia Islam Bagian Timur", PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).
Jejak Penerapan Syariah Islam
Seiring
perjalanan waktu, hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan
sistemik di Indonesia. A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten
adalah kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum
Islam sebagai hukum negara pada abad ke-17. Di Banten, hukuman terhadap
pencuri dengan memotong tangan bagi pencurian senilai 1 gram emas telah
dilakukan pada tahun 1651-1680 M di bawah Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan
Iskandar Muda pernah menerapkan hukum rajam terhadap putranya sendiri
yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira.
Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota
Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan
kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara
ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan. (Musyrifah Sunanto, 2005).
Kerajaan Demak sebagai kerajaan
Islam I di Jawa memiliki jabatan qadi di Kesultanan yang dijabat oleh
Sunan Kalijaga. De Graff dan Th Pigeaud mengakui hal ini. Di Kerajaan
Mataram pertama kali dilakukan perubahan tata hukum di bawah pengaruh
hukum Islam oleh Sultan Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan
peradilan dihukumi menurut kitab Kisas, yaitu kitab undang-undang hukum
Islam pada masa Sultan Agung.
Dalam
bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan pengharaman
riba. Menurut Alfian, deureuham adalah mata uang Aceh pertama. Istilah
deureuham dari bahasa Arab dirham. Selain itu Kesultanan Samudera Pasai
pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326) telah
mengeluarkan mata uang emas. (Ekonomi Masa Kesultanan;
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian "Dunia Islam
Bagian Timur", PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).
Hubungan dengan Khilafah
Di
samping penerapan syariah Islam, hubungan Nusantara dengan Khilafah
Islam pun terjalin. Pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang
bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz
dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja meminta dikirimi dai yang bisa
menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja
Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun
dikenal dengan nama Sribuza Islam. (Ayzumardi Azra, 2005).
Sebagian
pengemban dakwah Islam juga merupakan utusan langsung yang dikirim oleh
Khalifah melalui amilnya. Tahun 808H/1404M adalah awal kali ulama
utusan Khalifah Muhammad I ke Pulau Jawa (yang kelak dikenal dengan nama
Walisongo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang
diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode. (Rahimsyah, Kisah Wali Songo, t.t., Karya Agung Surabaya, hlm. 6).
Bernard Lewis (2004) menyebutkan
bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan
ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal
perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan
persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.
Hubungan
ini tampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan. Abdul
Qadir dari Kesultanan Banten, misalnya, tahun 1048 H (1638 M)
dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif
Zaid, Syarif Makkah saat itu. Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram
memperoleh gelar sultan dari Syarif Makkah tahun 1051 H (1641 M) dengan
gelar, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. (Ensiklopedia Tematik
Dunia Islam Asia Tenggara, 2002). Bahkan Banten sejak awal memang
menganggap dirinya sebagai Kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar
al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di
Istanbul. (Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Struktur Politik dan Ulama: Kesultanan Banten, 2002).
Selain
itu, Snouck Hurgrounye, sebagaimana yang dikutip oleh Deliar Noer,
mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, melihat
stambol (Istanbul, ibukota Khalifah Usmaniyah) senantiasa sebagai
kedudukan seorang raja semua orang Mukmin dan tetap (dipandang) sebagai
raja dari segala raja di dunia. (Deliar Noer, 1991).
Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Itu
Pada
masa penjajahan, Belanda berupaya menghapuskan penerapan syariah Islam
oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah
penting yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik
sekular melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa
musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama. (H. Aqib Suminto, 1986).
Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara.
Pertama: memberangus
politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan
Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia,
Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh
penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial.
Kedua: melalui kerjasama
raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam
Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di
Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan
Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Ketiga: dengan
menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah.
Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih
terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah
pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan
menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.
Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan
agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi
Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi;
Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam
memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang
merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam
didudukkan sebagai sekolah liar. (H. Aqib Suminto, 1986).
Demikianlah, syariah Islam mulai
diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekular. Hukum-hukum
sekular ini terus berlangsung hingga sekarang. Walhasil, tidak salah
jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini
merupakan warisan dari penjajah; sesuatu yang justru seharusnya
dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil
mengenyahkan sang penjajah: Belanda.
Perjuangan Tak Pernah Padam
Meski
penjajah Belanda menuai sukses besar dalam menghapus syariah Islam di
bumi Nusantara, umat Islam di negeri ini tidak pernah diam. Perjuangan
untuk menegakkan kembali syariah Islam terus dilakukan. Pada tanggal 16
Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang sebelumnya adalah Sarekat
Dagang Islam. Inilah mestinya tonggak kebangkitan Indonesia, bukan Budi
Utomo yang berdiri 1908 dengan digerakkan oleh para didikan Belanda. KH
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dengan melakukan gerakan
sosial dan pendidikan. Adapun Taman Siswa, baru didirikan Ki Hajar
Dewantara pada 1922. Sejatinya, KH Ahmad Dahlanlah sebagai bapak
pendidikan. (H. Endang Saefuddin Anshari, 1983).
Pada saat Pemilu yang pertama
tahun 1955, Masyumi adalah partai Islam pertama dan terbesar yang
jelas-jelas memperjuangkan tegaknya syariah Islam di Indonesia. Lahirnya
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 adalah salah satu puncak dari
perjuangan umat Islam dalam menegakkan syariah Islam di Indonesia.
Lebih dari itu, sejarah perjuangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari agenda Khilafah Islam. Setelah institusi Khilafah Islam Ustmaniyah dibubarkan pada 3 Maret 1924, ulama dan tokoh pergerakan Islam Indonesia meresponnya dengan pembentukan Komite Khilafah yang didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924, dengan ketua Wondosudirdjo (Sarikat Islam) dan wakilnya KH A. Wahab Hasbullah (lihat: Bendera Islam, 16 Oktober 1924). Kongres ini memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafah ke Kairo yang terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. A. Wahab dari kalangan tradisi. (Hindia Baroe, 9 Januari 1925). KH A. Wahab kemudian dikenal sebagai salah satu pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama.
Semua bukti sejarah ini
menunjukkan kepalsuan tuduhan berbagai pihak-yang menolak syariah Islam
dan Khilafah-bahwa Indonesia tidak pernah mengenal formalisasi syariah
Islam oleh negara, apalagi Khilafah. (http://globalkhilafah.blogspot.com)
Posting Komentar untuk "Jejak Khilafah dan Syariah di Indonesia"