Ilmu dan Teknologi Maritim untuk Khilafah
Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar
Seperti apa ilmu dan teknologi maritim kalau dunia Islam bersatu dalam Negara Khilafah?
Allah mengaruniai umat Islam dengan negeri yang sangat luas,
terbentang dari tepi Samudera Atlantik dengan tepi Samudera Pasifik. Di
dalamnya ada padang pasir, pegunungan bersalju, tetapi juga hutan
tropis dan pulau-pulau yang berserak laksana zamrud katulistiwa, dan
semuanya di jalur strategis perdagangan dunia.
Dua negeri dengan pulau terbanyak di dunia adalah Indonesia dan
Filipina. Indonesia adalah negeri dengan penduduk Muslim terbesar di
dunia. Filipina sebelum didatangi bangsa Barat adalah juga sebuah
kesultanan Islam. Karena itu sangat relevan bila kita bertanya-tanya,
seperti apa dulu ilmu dan teknologi maritim negara Khilafah, dan seperti
apa nantinya bila Khilafah berhasil tegak kembali.
Adalah Umar bin Khattab yang pertama kali membangun armada angkatan
laut Muslim untuk menghadapi Romawi. Romawi memiliki jajahan-jajahan di
seberang lautan seperti Afrika Utara dan Timur Tengah. Mencapai
negeri-negeri itu lewat darat sangat tidak efisien. Karena itu, untuk
mematahkan Romawi, kaum Muslim harus membangun angkatan laut. Thariq
bin Ziyad menaklukkan Spanyol dengan armada laut, walaupun dia lalu
membakar semua kapalnya agar pasukannya berketetapan hati terus
berjihad.
Suatu angkatan laut terbangun dari beberapa bagian. Ada pelaut yang
mengoperasikan kapal. Ada marinir yang akan diturunkan dari kapal untuk
masuk ke daratan dan bertempur menaklukkan sebuah wilayah. Ada
navigator yang memberi orientasi di mana posisi kapal berada dan ke mana
mereka harus menuju. Ada petugas isyarat yang melakukan komunikasi ke
segala pihak yang dianggap perlu baik di laut maupun di darat. Ada
teknisi mekanik yang menjaga agar kapal tetap berfungsi. Ada bagian
logistik yang menjamin bahwa kapal tetap memiliki kemampuan dayung atau
layar yang cukup. Kalau sekarang berarti pasokan bahan bakar, makanan
dan air tawar. Dan ada bagian administrasi yang menjaga agar seluruh
perbekalan di laut tertata dan digunakan optimal. Seluruh hal di atas
telah dan tetap dipelajari di semua akademi angkatan laut dari zaman
Romawi hingga kini.
Ketika angkatan laut Muslim pertama dibangun, modal pertamanya jelas
keimanan. Mereka termotivasi oleh berbagai seruan Alquran ataupun
hadits Rasulullah, bahwa kaum Muslim adalah umat yang terbaik dan bahwa
sebaik-baik pasukan adalah yang masuk Konstantinopel atau Roma.
Motivasi mabda’i ini yang menjaga semangat mereka mempelajari dan
mengembangkan berbagai teknologi yang dibutuhkan. Maka sebagian kaum
Muslim pergi ke Mesir untuk belajar astronomi. Mereka mengkaji kitab
Almagest karangan Ptolomeus agar dapat mengetahui posisi lintang bujur
suatu tempat hanya dengan membaca jam dan mengukur sudut tinggi
matahari, bulan atau bintang. Ada juga yang pergi ke Cina untuk belajar
membuat kompas. Sebagian lagi mempelajari buku-buku Euclides sang
geografer Yunani untuk dapat menggambar peta. Jadilah mereka
orang-orang yang dapat menentukan posisi dan arah di lautan.
Kemudian pembuatan kapal menjadi industri besar di negeri-negeri
Islam, baik dalam konstruksi kapal dagang maupun kapal perang. Selain
galangan kapal utama, terdapat galangan-galangan pribadi di pinggir
sungai-sungai besar dan di sepanjang pantai di daerah Teluk dan Laut
Merah. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik yang kecil hingga
kapal dagang besar dengan kapasitas lebih dari 1.000 ton dan kapal
perang yang mampu menampung 1.500 orang. Menulis pada abad-4 H (abad
10M), al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan
jenis-jenis yang digunakan pada abad sesudahnya. Dan sumber-sumber Cina
menunjukkan bahwa kapal yang dipakai Cheng-Ho, seorang laksamana Muslim
abad 15 sudah jauh lebih besar daripada yang dipakai Columbus menemukan
benua Amerika.
Semua kapal Muslim mencerminkan karakteristik tertentu. Kapal dagang
biasanya berupa kapal layar dengan rentangan yang lebar relatif
terhadap anjangnya untuk memberi ruang penyimpanan (cargo) yang lapang.
Kapal perang agak lebih ramping dan menggunakan dayung atau layar,
tergantung fungsinya. Semua kapal dan perahu itu dibangun dengan bentuk
papan luar rata (carvel-built), yaitu kayu-kayu diikatkan satu
sama lain pada sisi-sisinya, tidak saling menindih sebagaimana lazimnya
kapal dengan bangun berkampuh (clinker-built) di Eropa Utara.
Kemudian kayu-kayu itu didempul dengan aspal atau ter. Tali untuk
menambatkan kapal dan tali jangkar terbuat dari bahan rami, sedangkan
salah satu pembeda dari kapal-kapal Muslim adalah layar lateen yang
dipasangkan pada sebuah tiang berat dan digantung dengan membentuk sudut
terhadap tiang kapal. Layar lateen tidak mudah ditangani, tetapi jika
telah dikuasai dengan baik, layar ini memungkinkan kapal berlayar lebih
lincah daripada layar persegi. Dengan demikian kapal Muslim tidak
terlalu banyak mensyaratkan rute memutar saat menghindari karang atau
badai, sehingga total perjalanan lebih singkat.
Begitu banyaknya kapal perang yang dibangun kaum Muslim di Laut Tengah, sehingga kata Arab untuk galangan kapal, dar al-sina’a, menjadi kosa kata bahasa Eropa, arsenal.
Perhatian para penguasa Muslim atas teknologi kelautan juga sangat
tinggi. Sebagai contoh, Sultan Salahuddin al Ayubi (1170 M) membuat
elemen-elemen kapal di galangan kapal Mesir, lalu membawanya dengan onta
ke pantai Syria untuk dirakit. Dermaga perakitan kapal ini terus
beroperasi untuk memasok kapal-kapal dalam pertempuran melawan pasukan
Salib. Sultan Muhammad al-Fatih menggunakan kapal yang diluncurkan
melalui bukit saat menaklukkan Konstantinopel.
Teknologi ini ditunjang ilmu bumi dari para geografer dan
penjelajah. Geografer terkenal seperti Al-Idrisi, Al-Biruni dan Ibnu
Batutah menyediakan peta-peta yang lengkap dengan deskripsi geografis
hasil ekspedisi yang beraneka ragam. Mereka juga menyediakan
pengetahuan baik yang bersifat fisik seperti meteorologi dan
oseanografi, maupun yang sosial seperti etnologi, yang sangat berguna
untuk berkomunikasi dengan suku-suku asing yang tersebar di berbagai
pulau terpencil. Para arsitek seperti Mimar Sinan membangun mercu-mercu
suar yang lebih kokoh, dan Banu Musa menyediakan lampu-lampu suar yang
tahan angin, sehingga secara keseluruhan dunia pelayaran di negeri Islam
menjadi lebih aman.
Di sisi lain, para pujangga menulis kisah-kisah para pelaut dengan
menawan, seperti hikayat Sinbad yang populer di masyarakat. Di luar
sisi-sisi magis yang sesungguhnya hanya bumbu cerita, kisah itu mampu
menggambarkan kehidupan pelaut secara nyatal sehingga menarik jutaan
pemuda untuk terjun ke dalam berbagai profesi maritim.
Tanpa ilmu dan teknologi kelautan yang handal, mustahil daulah Islam
yang sangat luas itu mampu terhubungkan secara efektif, mampu berbagi
sumber dayanya secara adil, dan terus memperluas cakupan pengaruhnya ke
seluruh penjuru dunia, termasuk hingga ke Nusantara. Dengan teknologi
kelautan, negara Khilafah mampu bertahan beberapa abad sebagai negara
adidaya.[]
Sumber: mediaumat.com (11/10/2012)
Posting Komentar untuk "Ilmu dan Teknologi Maritim untuk Khilafah"