Kejayaan Islam di Masa Lalu
Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi (Jacques C. Reister).
Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban
Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa
dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah
apa-apa (Montgomery Watt).
Peradaban berhutang besar pada Islam (Presiden AS, Barack Obama).
Pengantar
Pernyataan dari dua cendekiawan Barat dan satu dari orang nomor satu
Amerika Serikat ini sengaja saya kutip sekadar ingin menunjukkan, bahwa
siapapun yang jujur melihat sejarah tak akan bisa mengelak untuk
mengakui keagungan peradaban Islam pada masa lalu dan sumbangsihnya bagi
dunia, termasuk dunia Barat, yang denyutnya masih terasa hingga hari
ini. Meski banyak ditutup-tutupi, pengaruh peradaban Islam terhadap
kemajuan Barat saat ini tetaplah nyata.
Tulisan berikut tidak bermaksud membangkitkan romantisme sejarah
Islam masa lalu yang gemilang, yang memang merupakan sebuah realitas
sejarah. Kalaupun secuil gambaran masa lalu peradaban Islam yang
cemerlang sengaja ditampilkan di sini, itu tidak lain sebagai bentuk
restrospeksi sekaligus instrospeksi, yang tentu amat diperlukan oleh
kaum Muslim saat ini.
Dengan itu, kaum Muslim secara sadar dan jujur akan mampu melihat
kembali kebesaran peradaban Islam masa lalu sekaligus potensinya untuk
kembali hadir pada masa depan untuk yang kedua kalinya. Karena itu,
selain merestrospeksi keagungan peradaban Islam masa lalu, tulisan ini
juga lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk memproyeksi sekaligus
merekontruksi kembali masa depan perabadan Islam di tengah-tengah
hegemoni perabadan Barat sekular saat ini, yang sesungguhnya mulai
tampak kerapuhannya dan makin kelihatan tanda-tanda kemundurannya.
Peradaban Islam: Peradaban Emas
1. Tingginya Kemampuan Literasi.
Sebuah peradaban maju, termasuk peradaban Islam, tentu mencakup
ruang-lingkup yang sangat luas. Kemajuan peradaban Islam masa lalu pun
demikian. Jika buku dianggap sebagai salah satu warisan sebuah peradaban
yang gilang-gemilang maka peradaban Islam menjadi peradaban garda depan
yang ditopang oleh buku.
Di samping menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan sebuah peradaban,
buku juga menjadi ukuran sejauh mana sebuah peradaban dipandang maju.
Para khalifah Islam pada masa lalu memahami benar hal ini. Pada abad
ke-10, misalnya, di Andalusia saja terdapat 20 perpustakaan umum. Yang
terkenal di antaranya adalah Perpustakaan Umum Cordova, yang saat itu
memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang
luar biasa untuk ukuran zaman itu.
Padahal empat abad setelahnya, dalam catatan Chatolique Encyclopedia,
Perpustakaan Gereja Canterbury saja, yang terbilang paling lengkap pada
abad ke-14, hanya miliki 1800 (1,8 ribu) judul buku. Jumlah itu belum
seberapa, apalagi jika dibandingkan dengan Perpustakaan Darul Hikmah di
Kairo yang terkenal itu, yang mengoleksi tidak kurang 2 juta judul buku.
Perpustakaan Umum Tripoli di Syam—yang pernah dibakar oleh Pasukan
Salib Eropa—bahkan mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50
ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Di Andalusia, pernah pula
terdapat Perpustakaan al-Hakim yang menyimpan buku-bukunya di dalam 40
ruangan. Setiap ruangan berisi tidak kurang dari 18 ribu judul buku.
Artinya, perpustakaan tersebut menyimpan sekitar 720 ribu judul buku.
Pada masa Kekhilafahan Islam yang cukup panjang, khususnya masa
Kekhalifahan ‘Abbasiyyah, perpustakaan-perpustakaan semacam itu tersebar
luas di berbagai wilayah Kekhilafahan, antara lain: Baghdad, Ram
Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara (kota
kelahiran Imam al-Bukhari), Ghazni, dsb. Lebih dari itu, hal yang lazim
saat itu, di setiap masjid pasti terdapat perpustakaan yang terbuka
untuk umum.
Menggambarkan hal ini, Bloom dan Blair menyatakan, “Rata-rata tingkat
kemampuan literasi (kemampuan melek huruf membaca dan menulis Dunia
Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa.
Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Jonathan
Bloom & Sheila Blair, Islam – A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002, p-105).
2. Lahirnya Banyak Ilmuwan Besar dan Karya-karya Fenomenal Mereka.
Dari perpustakaan-perpustakaan itulah dimulainya penerjemahan
buku-buku, yang dilanjutkan dengan pengkajian dan pengembangan atas isi
buku-buku tersebut. Dari sini pula sesungguhnya dimulainya kelahiran
para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang kemudian melahirkan karya-karya
yang amat mengagumkan, yang mereka sumbangkan demi kemajuan peradaban
Islam saat itu.
Bahkan tokoh-tokoh seperti Ibn Sina (terkenal di Barat sebagai
Aveciena), Ibn Miskawaih, Asy-Syabusti dan beberapa nama lain mengawali
karirnya—sebagai cendekiawan dan ilmuwan Muslim—dari ‘profesi’-nya
sebagai penjaga dan pengawas perpustakaan. Ibn Sina, misalnya, adalah
seorang pakar kedokteran. Ia meninggalkan sekitar 267 buku karyanya. Al-Qânûn fi al-Thibb adalah bukunya yang terkenal di bidang kedokteran.
Beberapa nama lain adalah Ibn Rusyd (terkenal di Barat sebagai
Averous); seorang filosof, dokter sekaligus pakar fikih dari Andalusia.
Al-Kulliyât, salah satu bukunya yang terpenting dalam bidang kedokteran,
berisi kajian ilmiah pertama mengenai fungsi jaringan-jaringan dalam
kelopak mata.
Ada juga az-Zahrawi, kelahiran Cordova. Ia adalah orang pertama yang
mengenalkan teknik pembedahan organ tubuh manusia. Karyanya berupa
eksiklopedia pembedahan dijadikan referensi dasar dunia kedokteran dalam
bidang pembedahan selama ratusan tahun.
Sejumlah universitas Barat juga menjadikannya sebagai acuan. Lalu ada
az-Zarkalli, masih dari Cordova. Ia adalah salah seorang ahli astronomi
yang pertama kali mengenalkan astrolobe, yakni istrumen yang digunakan
untuk mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini
menjadi revolusioner karena dapat membantu navigasi laut yang kemudian
mendorong berkembangnya dunia pelayaran secara pesat.
Kemudian ada al-Khawarizmi, ahli matematika sekaligus penemu angka
nol dan penemu salah satu cabang ilmu matematika, Algoritma, yang
diambil dari namanya. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa
al-Khwarizmi (770-840) lahir di Khwarizm (Kheva), kota di selatan sungai
Oxus (sekarang Uzbekistan) tahun 770 masehi. Pengaruhnya dalam
perkembangan matematika, astronomi dan geografi tidak diragukan lagi
dalam catatan sejarah.
Beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada awal abad
ke-12 oleh dua orang penerjemah terkemuka, yaitu Adelard Bath dan Gerard
Cremona. Risalah-risalah aritmatikanya, seperti Kitâb al-Jam’a wa at-Tafrîq bi al-Hisâb al-Hindi, Algebra dan Al-Maqâl fî Hisâb al-Jabr wa al-Muqâbilah
hanya dikenal dari translasi berbahasa Latin. Buku-buku itu terus
dipakai hingga abad ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh
universitas-universitas di Eropa.
Buku geografinya berjudul Kitâb Surât al-Ard yang memuat peta-peta dunia pun telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Selanjutnya ada al-Idrisi, pakar geografi. Orang Barat menyebutnya
Dreses. Al-Idris (1099-1166) dikenal oleh orang-orang Barat sebagai
seorang ahli geografi. Ia pernah membuat bola dunia dari bahan perak
seberat 400 kilogram untuk Raja Roger II dari Sicilia.
Globe buatan al-Idrisi ini secara cermat memuat pula ketujuh benua
dengan rute perdagangannya, danau-danau dan sungai, kota-kota besar,
dataran serta pegunungan. Beliau memasukkan pula beberapa informasi
tentang jarak, panjang dan ketinggian secara tepat. Bola dunianya itu,
oleh Idris sengaja dilengkapi pula dengan Kitâb ar-Rujari (Roger’s Book).
Dialah yang pertama kali memperkenalkan teknik pemetaan dengan metode
proyeksi; suatu metode yang baru dikembangkan oleh ilmuwan Barat,
Mercator, empat abad kemudian.
Selain beliau, masih ada nama yang patut disebut sebagai penyumbang
peradaban untuk dunia. Dialah Jabir Ibn Hayyan, masternya ilmu kimia
yang diakui oleh dunia. Ide-ide eksperimen Jabir sekarang lebih dikenal
sebagai dasar untuk mengklasifikasikan unsur-unsur kimia, utamanya pada
bahan metal, non-metal dan penguraian zat kimia.
Pada abad pertengahan karya-karya beliau di bidang ilmu kimia—termasuk kitabnya yang masyhur, Kitâb al-Kimya dan Kitâb as-Sab’în—sudah
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Terjemahan Kitâb al-Kimya
bahkan telah diterbitkan oleh orang Inggris bernama Robert Chester tahun
1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy.
Buku kedua (Kitâb as-Sab’în) diterjemahkan juga oleh Gerard
Cremona. Lalu tak ketinggalan Berthelot pun menerjemahkan beberapa buku
Jabir, yang di antaranya dikenal dengan judul Book of Kingdom, Book of the Balances dan Book of Eastern Mercury.
Masih ada ilmuwan lainnya. Dia adalah Nashiruddin ath-Thusi,
masternya ilmu astronomi dan perbintangan. Ada Ibnu al-Haitsam,
jagoannya ilmu alam dan ilmu pasti. Beliau menulis buku berjudul Al-Manâzir
yang berisi tentang ilmu optik. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Frederick Reysnar, dan diterbitkan di kota Pazel, Swiss, pada
tahun 1572 dengan judul Opticae Thesaurus.
Ada lagi seorang ahli geografi ulung bernama Muhammad bin Ahmad
al-Maqdisi. Bukunya, Ahsan at-Taqâsim, merupakan buku geografi yang
nilai sastra Arabnya paling tinggi. Buku tersebut menguraikan tentang
semenanjung Arabia, Irak, Syam, Mesir, Maroko, Khurasan, Armenia,
Azerbaijan, Chozistan, Persia dan Karman. Kemudian ada al-Kindi.
Beliau adalah simbol kedigdayaan ilmuwan Muslim. Jempolan dalam ilmu
fisika dan filsafat. Beliau bahkan mewariskan sekitar 256 jilid buku.
Lima belas buku di antaranya khusus mengenai meteorologi, anemologi,
udara (iklim), kelautan, mata dan cahaya; juga dua buah buku mengenai
musik. Muhammad, Ahmad dan Hasan—tiga keturunan Musa Ibnu Syakir,
menyumbangkan ilmu teknik pengairan dan matematika.
Lalu mengenai dunia sejarah, filsafat dan sosiologi, ada sang
maestronya, yaitu Ibnu Khaldun. Selain mereka, masih banyak lagi ilmuwan
dan cendekiawan Muslim lainnya dengan keunggulan dan kepakarannya di
bidangnya masing-masing. Orang-orang seperti merekalah yang kemudian
memberikan banyak sekali sumbangsihnya bagi kemajuan peradaban Islam
pada masa lalu yang masih terasa denyutnya hingga kini, justru pada saat
orang-orang Eropa masih bergulat dengan masa kegelapannya yang panjang.
Tanpa kehadiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang telah
mewariskan peradaban yang sangat agung, kemajuan peradaban Barat saat
ini tidak mungkin terjadi. Sebab, merekalah sesungguhnya yang menjadi
penghubung peradaban Yunani dan Romawi dengan peradaban Eropa saat ini.
Secara jujur, hal ini diakui oleh salah seorang cendekiawan Barat
sendiri, yakni Emmanuel Deutscheu yang asal Jerman itu.
Ia mengatakan, “Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam) telah
memberikan kesempatan baik bagi kami untuk mencapai kebangkitan
(renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Karena itu, sewajarnyalah
kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat
jatuhnya Granada.” (Granada adalah benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan orang-orang Eropa).
Hal senada diungkapkan oleh Montgomery Watt, ketika ia menyatakan, “Cukup
beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun
oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam
yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”
Jacques C. Reister juga berkomentar, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.”
Bahkan yang menarik sekaligus mengejutkan, sumbangsih peradaban Islam
terhadap dunia, termasuk dunia Barat, juga diakui oleh Presiden Amerika
Serikat saat ini, Barack Obama. Hal itu terungkap saat dia berpidato
tanggal 5 Juli 2009. Dia antara lain menyatakan:
Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat
seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama
berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era
Pencerahan di Eropa.
Inovasi dalam masyarakat Muslimlah yang mengembangkan urutan
aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan
pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta
pengobatannya.
Budaya Islam telah memberi kita gerbang-gerbang yang megah dan
puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang
oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan
tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai. Sepanjang
sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa
toleransi beragama dan persamaan ras adalah hal-hal yang mungkin (http://jakarta.usembassy.gov.).
Sisi lain Keagungan Peradaban Islam
Selain itu, setidaknya berdasarkan pengakuan Will Durant, kebesaran peradaban Islam juga tampak pada beberapa hal berikut:
a. Jaminan atas keamanan dunia.
Dalam hal ini, Will Durant jelas mengatakan:
Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas
yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para
Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang
memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam
keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu
setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan
pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan
seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai
bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad. (Will
Durant – The Story of Civilization).
b. Menyatukan umat manusia.
Dalam hal ini, Will Durant terang mengakui:
Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang
terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam,
Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah
memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupan¬nya,
dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan
urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan
kejayaan dan kemuliaan bagi mereka sehingga jumlah orang yang memeluknya
dan ber¬pegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta
jiwa.
Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati¬nya walaupun
ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka.
(Will Durant – The Story of Civilization).
c. Menciptakan kemajuan ekonomi.
Dalam hal ini, Will Durant pun jujur bertutur:
Pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar
12,045,000 dinar emas. Diduga kuat bahwa jumlah tersebut melebihi
pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jika digabungkan.
Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang
tinggi, melainkan salah satu pengaruh dari pemerintahan yang baik serta
kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya aktivitas perdagangan (Will
Durant – The Story of Civilization).
d. Menjamin kesehatan masyarakat.
Dalam hal ini, Will Durant secara jelas juga menegaskan:
Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah
sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya adalah
al-Bimarustan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah
bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran
dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa
cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun (Will
Durant – The Story of Civilization).
Bukti-bukti Arkeologis Keagungan Peradaban Islam
Pada masa-masa ‘kemunduran’-nya pun, peradaban Islam tetaplah
mengagumkan. Sejumlah dokumen di sejumlah museum di Turki adalah di
antara saksi bisu keagungan peradaban Islam masa lalu. Kita tahu, Turki
pada masa Khilafah Utsmaniah adalah saksi terakhir kemajuan peradaban
Islam.
Di Turki hingga hari ini, misalnya, ada sebuah masjid/museum terkenal
bernama Aya Sofia. Di Aya Sofia dipamerkan surat-surat Khalifah
(“Usmans Fermans”) yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmaniyah dalam
memberikan jaminan, perlindungan dan kemakmuran kepada warganya maupun
kepada orang asing pencari suaka, tanpa pandang agama mereka.
Yang tertua adalah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 925 H
(1519 M) kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman Inquisisi
Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia. Kemudian surat
ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan
yang dikirim Khalifah ke Amerika Serikat yang sedang dilanda kelaparan
(pasca perang dengan Inggris), abad 18.
Lalu surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir
tentara Rusia dan mencari eksil ke Khalifah, 30 Jumadil Awal 1121 H (7
Agustus 1709). Selanjutnya ada surat tertanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H
(5 September 1865 M) yang memberikan ijin dan ongkos kepada 30 keluarga
Yunani yang telah beremigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah
Khilafah, karena di Rusia mereka justru tidak sejahtera. Yang paling
mutakhir adalah peraturan yang membebaskan bea cukai barang bawaan
orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Utsmani pasca Revolusi
Bolschewik, tertanggal 25 Desember 1920.
Peradaban Islam juga tampak dari berbagai bangunan kuno yang saat ini
masih bisa disaksikan di berbagai penjuru dunia. Kordoba sebagai
ibukota Khilafah Umayah di Spanyol dibangun pada tahun 750 M. Ia menjadi
pusat peradaban hingga 1258 M. Kota tua Kordoba masih bisa kita
saksikan sekarang. Sejak berdirinya, kota ini memiliki drainase yang
bagus sehingga jalan-jalan tampak bersih dan asri. Ini adalah suatu
teknologi sanitasi—yang Jakarta hari ini perlu iri.
Masjid Agung Kordoba, yang saat ini hanya tinggal sebagai museum,
memiliki arsitektur yang sangat indah; sekaligus memiliki fungsi akustik
sehingga meskipun saat itu belum ada alat pengeras suara elektronik,
suara khatib bisa terdengar jelas hingga pojok-pojok masjid yang cukup
besar. Tata ruang masjid juga ditambah dengan pola ventilasi yang luar
biasa, yang menjamin cukupnya cahaya dan segarnya udara.
Tidak jauh dari masjid terdapat Taman Alcazar yang sangat indah.
Mengingat Andalusia dikelilingi oleh tanah-tanah yang gersang maka
keberadaan taman itu membuktikan sistem irigasi yang baik. Irigasi
memang salah satu teknologi yang diwariskan Islam.
Di banyak negeri Timur Tengah, masih dijumpai kincir untuk menaikkan
air yang dibangun berabad-abad yang silam—dan kincir ini masih
berfungsi! Di beberapa kota gurun pasir juga masih dijumpai sistem
distribusi air bawah tanah, yang disebut Qanat.
Dari sekian banyak bangunan fisik berusia tua di Istanbul, yang
paling menarik tentu saja adalah masjid-masjid yang indah. Ikon Istanbul
adalah masjid Sultan Ahmet, yang berhadapan dengan Aya Sofia. Masjid
ini dibangun pada Abad 16 dan satu-satunya masjid yang punya enam
minaret.
Ketahanan bangunan ini terhadap gempa telah teruji. Harus diingat
bahwa Turki adalah wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Eropa,
Asia, dan Afrika-Mediteran. Wilayah ini sangat sering diguncang gempa
hingga data pertanahan di sana harus terus-menerus di-update karena
titik-titiknya akan selalu bergeser oleh dinamika bumi. Namun,
masjid-masjid di Turki yang dibangun berabad-abad yang lalu terbukti
bertahan hingga kini.
Bangunan bersejarah semacam ini berserakan di seluruh dunia, di
tempat Islam pernah berkuasa. Di Cina juga terdapat banyak masjid
berusia minimal 1000 tahun. Di India, meski sejak masa penjajahan
Inggris didominasi oleh warga beragama Hindu, sebagian besar bangunannya
berarsitektur Islam; termasuk Tajmahal, sebuah bangunan mirip masjid
yang sangat indah, padahal sebenarnya hanya makam.
Beberapa bangunan tua masih memegang fungsi seperti saat didirikan
dulu, sekalipun mengalami renovasi berkali-kali. Contohnya adalah
berbagai masjid dan universitas di Mesir, Damaskus, atau Istanbul.
Universitas al-Azhar di Mesir faktanya adalah universitas tertua di
dunia!
Pengaruh Peradaban Islam di Indonesia
Sesungguhnya pengaruh peradaban Islam di Nusantara nyaris merata,
mewarnai sebagian besar wilayah, dari ujung barat hingga ke ujung timur.
Aceh, yang dijuluki sebagai ‘Serambi Makah’ hanyalah salah satunya.
Sejak sebelum kadatangan penjajah Belanda, Aceh telah menerapkan syariah
Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara.
Aceh juga banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan dunia
Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan utusannya ke Aceh seorang ulama
bernama Syaikh Abdullah Kan’an sebagai guru dan mubalig. Sekitar tahun
1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul
Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Selain itu, di Aceh sendiri lahir
sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf
al-Singkeli.
Abdul Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din
Shah, untuk menduduki jabatan Kadi dengan sebutan Qadi al-Malik al- Adil
yang sudah lowong beberapa lama karena Nur al-Din Al-Raniri kembali ke
Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdul Rauf
menerima tawaran tersebut.
Karena itu, ia resmi menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al-
Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi Abd Rauf diminta Sultan untuk
menulis sebuah kitab sebagai patokan (qanun) penerapan syariah Islam.
Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.
Menurut Abd Rauf, naskah Mir’at al-Tullab mengacu pada kitab Fath
al-Wahhab karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain
yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwad, Tuhfat al-Muhtaaj, Nihayat al-Muhtaj, Tafsir Baydawi, al-Irsyad, dan Sharh Sahih Muslim.
Mir’at al-Tullab mengandung semua hukum fiqh Imam Syafii, kecuali
masalah ibadah. Walhasil, Aceh sesungguhnya sejak lama telah memiliki
qanun penerapan syariah Islam yang ditulis oleh Abd Rauf al-Singkeli.
Bahkan banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat
antara Aceh dan Khilafah Turki Utsmani, sebagai pusat peradaban Islam
saat itu. Peran Sentral Khilafah
Dengan secuil gambaran historis mengenai kehebatan peradaban Islam di
atas, tentu wajar jika muncul sejumlah pengakuan dari para cendekiawan
yang jujur, sebagaimana terpapar di awal. Pengakuan jujur ini penting
dicatat untuk membantah pandangan beberapa pihak yang mengidap
Islamophobia akut seakan-akan Islam tidak pernah memberikan sumbangan
apapun terhadap peradaban dunia.
Namun, ada satu hal yang belum secara jujur diakui atau paling tidak
sering ditutupi, bahwa peradaban Islam yang memberikan sumbangan besar
bagi dunia ini terjadi di era Kekhilafahan Islam. Bahkan boleh
dikatakan, semua pencapaian kemajuan peradaan Islam itu tidak lepas dari
peran sentral Khilafah. Kecemerlangan sejarah itu terjadi ketika umat
Islam menerapkan sistem negara Khilafah yang menjadikan Islam sebagai
dasar ideologi dan syariah Islam sebagai dasar hukum yang mengatur
segenap aspek kehidupan manusia.
Karena itu, sebuah kepicikan atau kedustaan yang fatal jika di satu
sisi memuji peradaban Islam, tetapi di sisi lain melepaskan seluruh
kemajuan itu dari peran sentral Khilafah, selain karena faktor akidah
dan syariah Islam. Ketiga hal inilah (akidah, syariah dan Khilafah) yang
paling menentukan kemunculan peradaban Islam yang agung.
Sayang, ketiga hal ini sering ditutup-tutupi bahkan menjadi obyek
penyesatan dengan membangun stigma negatif terhadapnya. Pada tanggal 5
September 2006 Presiden George W. Bush, misalnya, mengatakan, “They
hope establish a violent political utopia across the Middle East, which
they call Caliphate, where all would be ruled according to their hateful
ideology (Mereka berangan-angan untuk membangun utopia-politik
kekerasan di sepanjang Timur Tengah, yang mereka sebut dengan Khilafah,
dimana semua akan diatur berdasar pada ideologi yang penuh kebencian).”
Senada dengan itu Tony Blair saat menjadi perdana menteri Inggris
menyatakan bahwa salah satu ciri dari ‘ideolog iblis’ (evil ideology)
adalah keinginan menegakkan syariah dan Khilafah. Tentu menggelikan
sekaligus tidak masuk akal, bagaimana sebuah ideologi kebenciaan, utopis
dan penuh kekerasan—ada juga yang menyebutkan sebagai sistem zaman
batu—bisa menghasilkan peradaban agung yang diakui cemerlang oleh dunia;
bagaimana sistem zaman batu bisa menyatukan berbagai bangsa, warna
kulit dan ras di seluruh dunia; bagaimana mungkin pula ‘ideolog setan’
bisa diyakini bahkan diperjuangkan oleh pemeluknya dan bertahanan selama
13 abad. Padahal masa kecemerlangan itu terjadi di bawah naungan sistem
Khilafah, yang sering oleh para sejarahwan Barat sering secara kurang
pas disebut peradaban Arab, dinasti atau imperium.
Para ahli sejarah pun mengakui, Kekhilafahan itu memang ada dan
menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur
Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang
mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai al-Sind di bawah
Kekhilafahan Bani Umayyah (660-749 M), dilanjutkan Khalifah Abbasiyyah
kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Khilafah Utsmani sampai 1924
M.
Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina
telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina
Selatan, Selat Malaka dan Samudra Hindia. Hal ini dengan sendirinya
memberikan dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi,
karena banyak pendakwah Islam sekaligus sebagai pedagang.
Peradaban Barat: Hegemoni yang Rapuh
Sejak runtuhnya Kekhilafahn Turmi Utsmani tahun 1924, dunia saat ini
memang berada dalam genggaman hegemoni peradaban Barat. Hegemoni itu
antara lain ditandai oleh dominannya pengaruh negara-negara maju
terhadap konstelasi politik dan ekonomi dunia saat ini. Jika diadakan
survei jajak pendapat tentang negara-negara tersukses di dunia saat ini,
orang akan cenderung menyebut sejumlah negara-negara industri maju
seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jepang, Jerman Italia
dan Canada. Negara-negara ini dikenal sebagai kelompok G7.
Menyusul mereka adalah negara-negara Barat lainnya seperti Swiss,
Swedia, Negeri Belanda, Australia dan sebagainya. Di bawahnya baru
menyusul negara-negara ekonomi baru (macan Asia), seperti Korea Selatan,
Taiwan, Singapura, Malaysia, Cina dan India.
Namun demikian, seluruh “success story” itu tidak boleh menutup mata
kita pada kebobrokan mendasar yang ada dalam peradaban Barat
kapitalis-sekular yang sedang dipraktikkan di negara-negara itu.
Kebobrokan itu mau tidak mau akan dirasakan dalam jangka panjang atau
dimensinya tak lagi lokal, namun global. Berikut ini hanyalah beberapa
di antara tanda kebobrokan itu.
1. Kekeringan Spiritual.
Mungkin kemajuan pembangunan fisik dan materi Barat sangat
mengesankan, namun pondasi dan tatanilai kehidupannya sesungguhnya amat
rapuh. Akibatnya, kekeringan spiritual dan degradasi moral menjadi
gejala umum. Kita melihat, kebanyakan orang Barat saat ini memang
akhirnya meraih sukses secara material.
Namun, pada saat yang sama, banyak di antara mereka yang mengidap
beragam penyakit sosial semacam hedonisme, yang bahkan berdampak pada
munculnya penyakit-penyakit psikologis yang sangat berbahaya. Para pakar
ilmu sosial Barat sendiri telah mengakui hal ini. A. Sorokin menyebut
adanya “The Crisis of Our Age”; Luis Leahy menyebut terjadinya
“kekosongan ruhani, sebagaimana digambarkan dalam bukunya, Esai Filsafat
untuk Masa Kini (1991); Carl Gustave Jung menyebut terjadinya
“kegersangan psikologis”. Eric Fromm menyebut adanya alienasi
(keterasingan).
Barat juga termasuk bangsa dengan angka degradasi moral dan angka
kriminalitas yang tinggi. Itulah di antara bentuk kerapuhan masyarakat
Barat saat ini yang maju secara material.
2. Kesenjangan Kaya-Miskin.
Kesenjangan kaya-miskin adalah fenomena dunia yang sebenarnya baru
terjadi kurang dari seabad terakhir. Pada saat ini, 20% penduduk dunia
(The Club of Rich) memiliki 83% kekayaan dunia, mengendalikan 81%
perdagangan dunia, mendapatkan 81% hasil investasi, seraya menggunakan
70% energi, 85% persedian kayu dunia, dan 60% pangan. Perbandingan
pendapatan 20% penduduk terkaya dunia dengan 20% penduduk termiskin
dunia adalah 60 berbanding [1] .
Pada tahun 1980, misalnya, untuk mendapatkan satu lokomotif dari
Swiss, negara berkembang dapat menukar dengan 12910 karung kopi. Sepuluh
tahun kemudian (1990), mereka membutuhkan 45800 karung kopi! Tren ini
terus memburuk sejak perdagangan bebas ala WTO diterapkan.
Untuk sekuntum bunga cengkeh yang dipetik di Kolumbia (Amerika
Latin), petaninya mendapatkan kurang lebih 4 sen-dolar. Bersama biaya
produksi dan margin profit, total sebesar sekitar 10 sen-dolar akan
tinggal di Kolumbia. Di pasar Eropa, harga akhir dari sekuntum bunga
cengkeh ini adalah 1 dolar! Keuntungan yang terbesar dinikmati oleh para
pedagang. Para pedagang kelas dunia ini didominasi para kapitalis
besar!
3. Hancurnya Keluarga.
Hancurnya sebuah peradaban sering dimulai dari hancurnya keluarga.
Keluarga adalah benteng terakhir yang mempertahankan nilai-nilai luhur,
kasih sayang dan kebahagiaan. Ketika keluarga hancur maka seseorang yang
tumbuh dewasa akan kehilangan acuan tentang makna hidup dan
kebahagiaan. Fenomena ini benar-benar terjadi di Barat, termasuk di
Amerika Serikat. Hal ini tampak dari semakin tingginya angka perceraian
dan pada saat yang sama menurunnya minat orang untuk menikah (orang
merasa lebih aman untuk hidup bersama tanpa ikatan).
Pada tahun 2003, misalnya, hanya terdapat tiap 1000 penduduk 7,5
pernikahan baru, dan sebaliknya 3,8 perceraian. Selain perceraian, kasus
bunuh diri terjadi tiap 16 menit sekali di AS, dan setiap kasus
menimbulkan dampak sosial pada minimal enam orang.
Walhasil semakin banyak anak-anak yang tumbuh hanya dengan satu orang
tua (single parent), baik karena perceraian maupun kehamilan di luar
nikah. Di AS pada tahun 2002 terdapat 21,5 juta anak seperti ini (pada
13,4 juta orangtua tunggal). Tiap 5 dari 6 orang tua tunggal ini adalah
wanita. Anak yang dibesarkan dari orangtua tunggal terbukti cenderung
lebih mudah terjebak dalam kriminalitas, kehamilan di usia belasan tahun
atau kecanduan narkoba. Fenomena ini bukan monopoli AS, namun juga
dapat diamati di hampir semua negara Barat yang dikalim berperadaban
maju tersebut.
4. Ancaman Militer Terhadap Negara Lain
AS adalah negeri yang sebenarnya memiliki sumberdaya energi melimpah.
PLTA-PLTA terbesar di dunia ada di sana. Demikian juga dengan
pembangkit tenaga nuklir. Ada 104 PLTN di seluruh AS dengan kapasitas
total 99,2 GigaWatt. (Bandingkan dengan kapasitas seluruh pembangkit
listrik PLN di Indonesia yang total hanya: 13,7 GigaWatt!). Selain itu
para fisikawan juga sedang sibuk melakukan riset nuklir fusi yang
diharapkan dapat menghasilkan energi murah dan bersih dari hidrogen
berat yang melimpah di air laut.
Jika demikian, kita pantas bertanya, mengapa mereka perlu menyerbu Irak, juga Afganistan?
ecara resmi mereka ingin memburu senjata pemusnah massal dan
menggulingkan rezim diktator. Namun, kedua alasan ini tampak jelas
kebohongannya, karena Badan Atom PBB sudah jelas menyatakan tidak ada
pengembangan senjatan nuklir di Irak, bahkan sampai sekarang hal itu
tidak terbukti. Senjata nuklir justru malah jelas ada di Israel dan
tidak diusik.
Sementara itu, rezim diktator juga ada di banyak negara lain. Karena
itu, orang menduga kuat bahwa alasan sesungguhnya adalah bisnis minyak
dan senjata dari para penyelenggara negara itu.
Jadi, meski AS memiliki kapasitas energi nuklir yang sangat besar,
kepentingan yang besar dari segelintir elit atas bisnis minyaknya telah
mengalahkan segalanya. Benarlah kata-kata bijak, “Dunia amat cukup untuk
memberi makan semua manusia, namun tidak akan pernah cukup untuk
memenuhi kerakusan mereka.”
5. Krisis Ekonomi.
Krisis ekonomi yang kini melanda hampir seluruh benua Eropa dan
Amerika, juga Asia termasuk Indonesia, sesungguhnya hanyalah repetisi
(pengulangan) belaka dari krisis-krisis sebelumnya yang ‘diproduksi’
oleh sistem ekonomi Kapitalisme sebagai salah satu pilar peradaban Barat
saat ini. Tahun 1992, Prof. Figgie, penasihat Bill Clinton (saat itu
masih calon presiden) mempublikasikan bukunya yang menghebohkan: The Coming Collapse of America and How to Stop It.
Dalam buku itu Figgie menggambarkan bahwa defisit AS yang mulai
terjadi sejak Perang Vietnam akan menjadi sangat berbahaya akibat bunga
berbunga. Jika pada tahun 1992, defisit AS menimbulkan “gunung hutang”
sebesar empat triliun dolar, maka tahun 2000 diproyeksikan menjadi 13
triliun dolar.
Defisit yang luar biasa ini suatu saat akan membawa konsekuensi
meningkatnya inflasi, kenaikan pajak, kenaikan suku bunga, kredit susah,
pertumbuhan ekonomi turun, standar hidup turun, ekonomi dalam negeri di
luar kontrol dan akhirnya status adidaya dunia AS akan hilang.
Pada masa Bill Clinton, kepanikan atas situasi ini membuat pernah
beberapa lembaga federal seperti museum dan kebun binatang ditutup untuk
sementara karena pegawainya tidak bisa digaji. Memang, bencana seperti
yang dikhawatirkan Figgie hingga awal 2006 belum terjadi karena
“kecerdasan” para ekonomnya yang menjadwal ulang semua hutang-hutang
negara itu ke tahun-tahun ketika Clinton sudah tidak lagi menjabat.
Namun, ada spekulasi bahwa George W. Bush melakukan perang global
terhadap terorisme karena ingin mengalihkan perhatian rakyat AS atas
krisis ekonomi dalam negeri itu, sekaligus menambah cadangan ekonominya
sendiri. Kenyataannya, setelah Bush lengser dan digantikan Obama, saat
ini krisis ekonomi AS tiba-tiba terkuak, yang diawali oleh macetnya
dalam jumlah besar kredit di sektor properti.
Krisis AS yang kemudian terus meluas dan berdampak luar biasa ini
hingga hari ini diprediksi masih terus berlangsung dan belum ada
tanda-tanda ke arah pemulihan. Akibatnya, di negara adidaya AS sendiri,
juga di sejumlah besar negara-negara Eropa, angka pengangguran makin
meningkat. Entah, kapan krisis ini akan berakhir. Yang pasti, banyak
kalangan menilai, inilah babak akhir dari Kapitalisme Barat. Ini
berarti, peradaban Barat dengan Kapitalisme sebagai penopang utamanya
sesungguhnya sedang di ambang kematiannya.
Kembalinya Peradaban Islam: Pasti!
Di tengah hegemoni peradaban Barat yang tampak mulai jompo ini,
bahkan sedang menuju titik balik ke arah kehancurannya, bagaimana dengan
masa depan peradaban Islam? Adakah peradaban Islam memiliki peluang
untuk kembali tampil ke permukaan? Mampukah peradaban Islam menjadi
tantangan baru bagi hegemoni peradaban Barat saat ini?
Jawaban: pasti! Tentu jawaban ini bukan sekadar sebuah apologia.
Pasalnya, sumber inspirasi bahkan rahasia hidup peradaban Islam adalah
al-Quran yang diturunkan empat belas abad lalu, yang keberadaannya akan
terpelihara hingga Hari Kiamat. Artinya, selama al-Quran ada, potensi
kebangkitan kembali peradaban Islam juga tetap ada. Sebab, sekali lagi,
al-Quranlah sumber inspirasi sekaligus rahasia hidup peradaban Islam,
baik pada masa lalu maupun pada masa depan. Kenyataan ini diakui pula
oleh sejumlah cendekiawan Barat berikut ini:
Hendaklah diingat, al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi
kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen. Ia bukan saja kitab suci
dari kepercayaan mereka, tetapi juga merupakan text-book dari upacara
agamanya dan prinsip-prinsip hukum kemasyarakatan…Demikianlah, setelah
melintasi masa selama 13 abad al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi
seluruh Turki, Iran, dan hampir seperempat penduduk India. Sungguh,
sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama
di masa kini… (E. Denisen Ross, seperti dikutip dalam buku Kekaguman
Dunia Terhadap Islam).
Prof. G. Margoliouth dalam De Karacht van den Islam juga menulis:
Penyelidikan telah menunjukkan, bahwa yang diketahui oleh
sarjana-sarjana Eropa tentang falsafah, astronomi, ilmu pasti, dan ilmu
pengetahuan semacam itu, selama beberapa abad sebelum Renaissance,
secara garis besar datang dari buku-buku Latin yang berasal dari bahasa
Arab dan al-Quranlah yang—walaupun tidak secara langsung— memberikan
dorongan pertama untuk studi-studi itu di antara orang-orang Arab dan
kawan-kawan mereka. Itu sebabnya, W.E. Hocking berkomentar:
Oleh karena itu, saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa
al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya
sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke
tigabelas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat
dibanggakan oleh dunia Barat (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).
Persoalannya tinggal berpulang pada kaum Muslim saat ini sebagai
pewaris hakiki peradaban Islam yang gemilang: Maukah mereka kembali pada
al-Quran? Berminatkah mereka kembali menjadikan al-Quran sebagai
rujukan hidup? Terpanggilkah mereka untuk menjadikan kembali al-Quran
sebagai sumber inspirasi sekaligus rahasia hidup peradaban Islam masa
depan?
Pertanyaan di atas tampaknya mulai terjawab dengan munculnya
antusiasme kaum Muslim di seluruh dunia untuk kembali pada al-Quran dan
Islam. Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, kerinduan kaum Muslim
terhadap akidah, syariah, juga Khilafah—sebagai tiga pilar peradaban
Islam—mulia menggeliat sejak beberapa tahun lalu.
Karena itu, pada saat peradaban Barat saat ini hampir-hampir
tersungkur, masa depan peradaban Islam sesungguhnya amatlah cerah.
Sebentar lagi, kebangkitan kembali peradaban Islam bukan lagi sekadar
mimpi, tetapi pasti akan mewujud dalam kenyataan. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
sumber: eramuslim (Arief B. Iskandar)
Silahkan tinggalkan jejak dengan memberikan Komentar.......
Dokumentasi Kegiatan Foto-Foto Training Motivasi bersama Coach Sabran disini 👉👉👉www.muhammad-sabran.com/2011/08/hubungi-saya.html
Hormatku
Coach Sabran🙏
Posting Komentar untuk "Kejayaan Islam di Masa Lalu"